Perempuan, Kartini dan Konsepsi Persatuan Bangsa

Risti Handayani

Perempuan adalah bagian penting dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat dalam berbagai nuansa budaya. Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi.

Gerakan kebangkitan nasional semakin bergelora sejak diterapkannya Politik Etis Hindia-Belanda atau dikenal pula sebagai Politik Balas Budi pada tahun 1901, yang memberi kesempatan kepada kaum bumiputera untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. 

Politik Etis yang diberlakukan oleh Belanda bagaikan sebilah pedang bermata dua. Pada awalnya ia dimaksudkan untuk meninggikan daya beli rakyat Hindia Belanda, serta menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik dari rakyat tanah jajahan. Biaya produksi kapitalisme tanah jajahan harus ditekan; terlalu mahal menggunakan tenaga impor dari Belanda. Ternyata, pembukaan sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat kelas dua seperti Sukarno, menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan barat yang nantinya akan menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.

Dampak pemberlakuan Politik Etis begitu terasa oleh kaum Bumiputera. Perkebunan dan sawah-sawah bertambah subur setelah disirami dengan air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh penjajah Belanda. Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite. Namun dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat itu telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional. Para pemuda itu pun kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri. Pencerahan pemikiran membuat orang-orang muda Bumiputera berkumpul, bicara, berdiskusi dan mengorganisir lahirnya perkumpulan-perkumpulan. Diawali dengan berdirinya organisasi Budi Utomo, pada tahun 1908.

Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan berdirinya Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana seantero negeri secara sporadis. Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Tak terkecuali kaum perempuannya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah, seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu, lalu ada Maria Wolanda Maramis, Nyi Ageng Serang dll. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibanding para “kawula” yang bertelanjang dada dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh Kumpeni. Terusik, karena kepemilikan pribadinya terganggu dan tak perlu masuk sekolah Belanda untuk membangun gerakan nasional. Para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, membayar dengan nyawanya, dan dibuang di lautan seperti Tiahahu atau diasingkan seperti Tjut Nyak Dien.

Bahkan beberapa belas tahun sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir pula seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri maka perempuan harus mendapatkan pendidikan yang cukup sebagai bekal dalam menjalani kehidupan mereka. Kartini selama ini telah kita kenal sebagai seorang pelopor dan pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartini-lah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudara laki-lakinya.

Kartini yang cerdas itu telah menulis surat-surat. Menyala-nyala dengan cita-cita dan keinginan untuk belajar dan bebas, Kartini harus menerima kenyataan hanya disekolahkan hingga usia 12 tahun. Bahasa Belanda telah dikuasai maka energi, gairah, kekecewaan dan angan-angannya disalurkan lewat surat-suratnya yang mengejutkan, begitu indah dan puitis. Berbagai literatur yang memuat tulisan tentang Kartini menyatakan bahwa gagasan-gagasan utama Kartini adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun kalangan atas, serta reformasi sistem perkawinan. Dalam hal ini menolak poligami yang ia anggap merendahkan perempuan. Namun dalam Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini menjadi sentral dari praktik perjuangannya). Kartini, bagi Pram adalah feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme, hingga ke tulang sumsumnya.

Surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari Belanda, banyak yang telah dihancurkan. Namun justru dari beberapa percakapan tertulis dengan Stella-lah yang banyak membuka mata dan hati Kartini terhadap masalah perempuan dan pembebasannya. Ini juga memahat secara perlahan-lahan penolakannya akan dominasi golongan feodal terhadap rakyat kecil. Surat Kartini yang secara khusus membahas buku Auguste Bebel, De Vrouw en Sosialisme dihapus oleh Abendanon karena kepentingan kolonialnya. Kartini banyak menerima buku-buku progresif semacam ini dari sahabatnya H.H van Kol, seorang sosialis demokrat anggota Tweede Kamer. Mungkin dari surat-surat itu, gambaran yang lebih utuh tentang pikiran-pikiran politik Putri Jepara yang tak ingin dipanggil dengan gelarnya itu, bisa lebih utuh. 

Satu hal yang juga perlu dicatat adalah saat Kartini menulis surat-suratnya, sentimen nasionalisme yang terorganisir belum muncul. Organisasi pertama kaum buruh SS Bond (StaatsSpoor ), baru hadir tahun 1905, setahun setelah kematian Kartini. Tradisi menggunakan media surat kabar dan terbitan untuk menyebarluaskan propaganda, belum timbul. Karya jurnalisme awal dari Sang Pemula (Tirto Adhi Suryo), Medan Prijaji  baru terbit tahun 1906. Referensi dari gagasan-gagasan orisinil Kartini berasal dari berbagai literatur berbahasa Belanda yang dibaca Kartini dalam masa pingitannya, serta korespondensinya dengan khususnya Stella. Adalah satu hal luar biasa bahwa Kartini yang sendirian, terisolasi, dan merasa sunyi itu mampu membangun satu gagasan politik yang progresif untuk zamannya, baik menyangkut kaum perempuan maupun para kawula miskin tanah jajahan. Nasib tragis Kartini menjadi salah satu petunjuk bahwa tak ada jalan baginya untuk membangun perjuangan dengan cara lain yang lebih kuat dan efektif. Di saat itu zaman beorganisasi belum muncul, selain lewat pendidikan. 

Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat istiadat feodal masih sangat kental di sekeliling Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran  Kartini tersebut. 

Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetaplah Sang Pemula. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. 

Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan perempuan berbasiskan agama, seperti Aisyiyah, Muslimat dll, turut pula membentuk beragam gerakan perempuan. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran bukan hanya dalam Bahasa Belanda melainkan terutama dalam Bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya. Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan kebangkitan bangsa. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima oleh seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.

Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Kaum perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya untuk bersekolah. Meskipun demikian, ternyata masih banyak hambatan bagi perempuan untuk mencapai kedudukan atau peningkatan prestasi seperti yang diharapkan, setara dengan kedudukan, dan prestasi laki-laki. Salah satu yang menjadi hambatan adalah masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki, yang memunculkan anggapan „setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga”.

Bersyukur anggapan kuno tersebut semakin hari semakin tergerus jaman, seiring beragam perubahan cakrawala pemikiran secara global. Bagaimanapun kaum perempuan sejatinya adalah partner kaum laki-laki dalam beragam aspek kehidupan sehingga sudah sewajarnya akan selalu saling mengisi dan melengkapi dalam perspektif kesetaraan dan persamaan.

Penulis: Risti Handayani, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Belanda.