Sekarang Giliran Saya Bersuara

Brigita

Jacinda Ardern, Ursula von der Leyen dan Angela Merkel merupakan sederetan nama pemimpin wanita dalam bidang politik yang dikenal dunia. Banyak wanita yang menjadikan mereka inspirasi, tapi mungkin ada juga yang merasa, inspirasi mereka berakhir hanya pada tahap fantasi. „Ah, mereka kan memiliki karir yang bagus, latar belakang pendidikan yang mendukung, public speaking  yang baik. Lalu saya?“ mungkin begitu pikir kita. Tidak semua wanita dapat mengidentifikasikan dirinya dengan role model tersebut. 

Jika kita memiliki pikiran seperti ini, saatnya mengubah cara pandang kita. Tidak hanya melihat ke atas atau ke samping, melihat kesuksesan wanita di sekitar kita, tapi lebih penting melihat ke dalam diri sendiri dan fokus pada pengembangan diri. Apakah dalam perjalanan pengembangan diri saya, saya telah mencapai aktualisasi diri? Apakah saya puas dengan pencapaian saya dan saya nyaman dengan diri saya sendiri? Skill apa yang perlu saya asah untuk mencapai target pribadi saya? Mungkin pertanyaan ini dapat membantu kita dalam merefleksikan kebutuhan psikologis kita. 

Abraham Maslow menggambarkan kebutuhan manusia dalam struktur piramida, di mana aktualisasi diri berada di puncak piramida. Kebutuhan ini akan muncul setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial dan penghargaan terpenuhi. Aktualisasi diri dapat diartikan bahwa kita telah menyadari potensi diri kita sendiri dan menggunakan kemampuan ini secara optimal dalam kehidupan kita sehari-hari dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setelah menyadari potensi ini, mungkin ini saatnya kita para wanita memberanikan diri untuk memimpin. 

Kepemimpinan kaum wanita di Indonesia tidak bisa dibilang minim, namun hal ini masih dianggap istimewa dan belum dianggap lumrah dan bisa diterima sepenuhnya setara dengan kepemimpinan kaum pria. Kesempatan wanita untuk memimpin pun dalam masyarakat masih sedikit. Tanpa kebijakan kuota untuk pemimpin wanita, wanita harus berjuang sendiri mencapai puncak karirnya. Sudah di puncak pun, wanita harus berhadapan dengan stereotip gender yang berkembang dalam budaya patriarki yang mengakar. 

Stereotip feminitas pada wanita tertanam dalam masyarakat sejak dini. Contohnya anak laki-laki akan diberikan mainan mobil dan anak perempuan akan diberikan mainan boneka. Anak laki-laki diharapkan sebagai pemimpin rumah tangga sehingga nantinya membutuhkan mobil sebagai sarana transportasi untuk mencari nafkah, sedangkan anak perempuan diharapkan sebagai seorang ibu yang akan membesarkan dan mengasuh anak-anaknya. Stereotip dalam pola asuh inilah yang menciptakan stereotip gender, termasuk dalam konsep kepemimpinan.

Komunikasi memegang peranan penting dalam konsep kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menggerakan anggotanya untuk mencapai tujuan kelompoknya. Oleh karena itu pemimpin harus didengarkan suara dan arahannya. Penelitian-Penelitian di bidang Sosiolinguistik telah membuktikan bahwa gaya bahasa yang digunakan wanita berbeda dengan bahasa yang digunakan pria. Gaya bahasa wanita memungkinkan wanita untuk menuturkan pemikirannya melalui bahasa yang menunjukan identitas dirinya. Wanita ingin penyampaiannya diterima dalam struktur kebahasaan masyarakat yang lebih didominasi oleh pria.

Gaya bahasa wanita memiliki karakteristik yang dapat dikenali. Robin Lakoff, seorang profesor di bidang linguistik mengidentifikasi karakteristik bahasa yang digunakan oleh wanita. Salah satu karakteristik yang menandai gaya bahasa wanita adalah penggunaan aspek kesopanan dalam tata bahasanya. Contohnya ketika pria lebih menggunakan kalimat perintah langsung seperti: „Tutup pintunya!“, wanita mengungkapkan perintah dalam bentuk pertanyaan seperti „Apakah Anda tidak keberatan untuk menutup pintunya?“ 

Dalam gaya bahasa wanita ini keputusan untuk menutup pintu diserahkan kepada penerima tugas dan menimbulkan kesan bahwa wanita tidak yakin dengan keinginannya. Hal ini bisa menjadi dilema bagi pemimpin wanita dalam mencapai tujuannya. Padahal dengan gaya bahasa wanita, wanita merasa dapat berbicara dengan kepercayaan diri, kenyamanan, kemandirian, dan perasaannya. Jika wanita keluar dari pola ini dan berbicara secara langsung seperti pria, wanita akan dianggap tidak feminin, tidak disukai, dan dianggap kasar. 

Konstruksi ini yang membatasi wanita, mengatur posisi wanita dalam masyarakat, dan menghambat kualitas kepemimpinan wanita. Namun, di sisi lain, penelitian yang lebih baru menilai gaya bahasa wanita yang halus sebagai kekuatan wanita. Gaya bahasa ini dapat juga digunakan wanita secara sadar untuk mempengaruhi lawan bicaranya dan merupakan strategi wanita dalam mencapai tujuannya. Pemahaman akan gaya bahasa wanita dapat membantu pemimpin wanita merefleksikan secara kritis cara berkomunikasinya karena bahasa mengubah cara berpikir dan dapat memengaruhi tindakan.

Sayangnya kesempatan wanita untuk memimpin masih kurang. Untuk menciptakan kesempatan yang kurang didukung sistem diperlukan inisiatif. Ini artinya wanita harus aktif untuk menciptakan peluang dalam memimpin. Mungkin dalam karir kesempatan sebagai pemimpin belum tercapai. Namun ketika ada kesempatan-kesempatan kecil, cobalah berinisiatif mengambil tanggung jawab untuk memimpin, misalnya inisiatif mengorganisir acara. 

Jika kesempatan ini pun belum datang, ciptakanlah peluang saat anda mempresentasikan ide atau gagasan Anda. Bicaralah dengan kepercayaan diri dan cara komunikasi yang secara sadar ditujukan untuk wanita atau pria sehingga kita sebagai wanita dapat berjuang menciptakan peluang untuk memimpin yang mungkin belum datang. Perjalanan kita masih panjang.  

Penulis: Brigita Febrina Jipi Saputra, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.