Keibuan Adalah Kepemimpinan

Aini Hanafiah

Setiap orang punya waktu terbaik yang mereka nanti-nantikan dalam keseharian. Ada yang sangat menantikan jam istirahat untuk bertemu teman dan membeli makan siang bersama. Ada juga  menantikan jam pulang kerja, ketika pasangan datang menjemput. Sementara saya selalu menanti-nantikan waktu si Sulung pulang sekolah. Membayangkan pertanyaan apa lagi yang akan si Kecil lontarkan untuk saya dan membahasnya dalam tawa sambil sesekali saling berdebat. Ini tidak berubah selama 12 tahun belakangan.

Pada suatu siang ketika sedang menulis artikel ini dan mengalami kebuntuan, suara bel rumah memecah konsentrasi saya. Rupanya si Sulung pulang sekolah. Beberapa saat kemudian sambil menemani si Sulung melahap camilan, iseng saya bertanya, 

Do you think being a mother aligned with… leadership?” 

Well,” jawabnya, “Being a mother is basically being a leader because you are the boss of your kid and your husband, which is my papa, around most of the time.”

Mau tertawa tetapi kok terasa nyata, ya. 

Selama ini kita dijejalkan dengan romantisme motherhood image: kelemah-lembutan, merawat, feminin, dan patuh. Keibuan dan perempuan selalu dilekatkan dengan sifat-sifat pasif yang posisinya di bawah sifat-sifat maskulin yang diletakkan dalam posisi aktif dan dominan. Tak jarang kepasifan ini dipertahankan untuk memberikan ruang agar sisi maskulin lebih banyak diaktualisasikan. Sifat-sifat keibuan hanya menjadi pelengkap, peredam, atau pemanis saja. Dari situ lahirlah anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keibuan hanya pantas disematkan dengan kata ‘Cuma’. Cuma jadi ibu. Cuma mengurus keluarga. But turns out, motherhood is a work. An active work. A hard work.

Ketika memulai proses mencari pekerjaan di Norwegia, saya belajar satu kata baru: veiledning. Veiledning yang berarti ‘panduan’ atau ‘arahan’, berasal dari kata å veilede – memandu, atau mengarahkan ke jalan atau tujuan tertentu. Ini mengingatkan saya akan tugas utama seorang ibu: sebagai pengarah dan manager keluarga.

Salah satu aspek dalam kehidupan sebagai seorang ibu yang tidak pernah saya sangka adalah aktif memandu dan mengarahkan. Saya kira setelah anak-anak lahir, hidup hanya akan melulu dipenuhi popok kotor, cucian, dan membersihkan (dan bahkan menghabiskan) sisa-sisa makanan bayi. Ternyata itu hanya terjadi di dua-tiga tahun pertama saja. 

Ketika si kecil mulai bisa berkomunikasi aktif, saya disadarkan pada kenyataan bahwa tugas utama sebagai seorang ibu adalah mengarahkan dan memandu anak-anak untuk membiasakan hidup yang tertib dan mengasah pola pikir serta perilaku mereka. Apalagi ketika harus membesarkan anak di perantauan, sebuah kondisi yang bisa dibilang minim support system dalam hal kesamaan prioritas dan nilai-nilai yang dianut keluarga kami. Dan untuk bisa siap melakukan ini, saya harus mampu mengenali dan mengarahkan diri saya terlebih dahulu.

Lantas, apa hubungannya dengan kepemimpinan?

Setiap orang adalah pemimpin bagi diri mereka masing-masing. Tampak klise, tapi ada benarnya. Kepemimpinan seseorang terhadap dirinya pribadi terbentuk dari berbagai keputusan yang diambilnya pada setiap aspek kehidupan. Keputusan-keputusan yang dipelajari sedari kecil hingga dewasa, sampai seumur hidup. Dari mana lagi ini semua dapat dipelajari, kalau bukan dari orangtua. Tanpa bermaksud mengglorifikasi peran ibu, profil ayah juga memainkan peran penting di sini. Tapi mari fokus dulu dengan pengalaman para perempuan yang memutuskan untuk terjun menjalani peran sebagai ibu.

Saat ini kepemimpinan seringkali dikaitkan dengan tampilan publik. Padahal tampilan hanyalah salah satu efek dari hasil seseorang memimpin diri mereka, yang bertemu dengan orang-orang sejiwa dan lalu berkomunitas, kemudian bersama-sama mampu membawa pengaruh baik ke lingkungan sekitar. 

Kepemimpinan pun masih dilihat sebagai sesuatu yang individualistik, hanya menyoroti beberapa individu yang mampu tampil di publik, tanpa berusaha melihat seberapa besar dukungan yang individu tersebut dapatkan, atau latar belakang kehidupan yang turut membentuk individu tersebut hingga bisa bersuara dan memiliki daya pengaruh terhadap sekitarnya. Di dunia kepemimpinan yang masih mengusung nilai-nilai tradisional maskulin, gaya kepemimpinan perempuan masih sering disorot seberapa ‘kuat’ sisi maskulin perempuan muncul ketika memimpin: ketegasan, vokal menyuarakan ide dan pendapat, langkah taktis yang diambil, dan sebagainya. Tidak ada yang salah sebenarnya dari hal-hal tersebut. Tetapi seringkali orang lupa bahwa pemimpin itu dibentuk dan dirawat, tidak hanya dilahirkan. 

Dalam budaya Indonesia masihlah kental norma bahwa ketika perempuan memutuskan untuk menjalani peran sebagai seorang ibu, dia harus mengalah dan mengabadikan diri di belakang layar untuk kebaikan keluarga. Padahal semua tugas yang seorang ibu jalani bukanlah pekerjaan pasif. Mendidik anak, keluarga serta mengatur rumah tangga membutuhkan banyak ilmu, bukan hanya sebatas butuh kesabaran dan tenaga untuk mendulang pahala saja. 

Motherhood yang selama ini dilihat sebagai sesuatu yang pasif, sebenarnya adalah bentuk kepemimpinan perempuan dalam menentukan yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Kemampuan seorang perempuan dalam mengenali diri mereka dan membuat keputusan untuk kebaikan diri mereka akan terus dipakai tatkala mereka memutuskan untuk menjalani peran baru, apapun peran yang dijalani. Ketika memilih karir pekerjaan, memilih bidang ilmu, memilih pasangan, atau ketika berkomunikasi dengan pasangan dalam partnership yang setara dalam membangun keluarga, semua itu adalah sebuah seni tersendiri dalam memimpin. 

Menjadi pemimpin bagi diri sendiri tidak lantas total berhenti ketika seorang perempuan memutuskan untuk menjalani peran baru sebagai ibu. Keibuan adalah sebuah bentuk kepemimpinan aktif. Bukan hanya dengan aktif menyuarakan pendapat, tetapi juga dengan membangun empati, merawat hubungan, serta dengan welas-asih. Ketika perempuan bersama-sama membangun komunitas, mereka tidak hanya aktif merawat keluarga dan saling mendukung tetapi juga dalam konteks merawat lingkar pertemanan dan jejaring sosial yang mereka miliki.

Melihat anak-anak tumbuh di tanah perantauan ini menyadarkan saya bahwa motherhood is indeed a leadership. Saya menyadari bahwa saya tidak tahu apa-apa sampai ketika saya harus pergi meninggalkan tanah air dan memulai hidup di perantauan. Hidup yang sama sekali berbeda dengan kondisi di tanah air. Hidup di perantauan membuat saya harus banyak mengambil keputusan drastis untuk diri saya sendiri terlebih dahulu, sebelum kemudian berada di posisi di mana harus membuat banyak keputusan untuk keluarga saya. 

Segala tantangan yang saya lewati selama di perantauan, itu adalah hasil dari keputusan yang saya ambil untuk diri saya dalam ‘memimpin’ dan mengarahkan diri sendiri sebelum mengarahkan dan memandu anak-anak bersama pasangan. Saya sebagai ibu adalah support system utama anak-anak saya, terutama dalam mengarahkan identitas anak-anak saya saat tumbuh besar di perantauan ini. Ya, banyak langkah yang saya salah ambil, tetapi dari situlah pelajaran datang. Kesalahan akan menjadi alasan untuk menghukum diri sendiri, kalau kita tidak melihatnya dengan kacamata welas asih. Sifat-sifat keibuan yang dimiliki perempuan tidaklah hanya bermanfaat kala mereka membangun hubungan dengan sekitarnya tetapi juga untuk menyayangi, mendengarkan, mengasihi, serta mengarahkan hidup mereka. 

Bayangkan ketika keperempuan tetap disematkan dengan sifat-sifat pasif. Tumbuh dengan tidak diberi ruang untuk belajar, berpendapat, dan mengambil keputusan. Saya tidak bisa membayangkannya, setidaknya dalam kehidupan anak-anak saya. Yang saya bayangkan, anak-anak saya akan tumbuh di dunia baru, di mana perempuan harus dapat menjadi The Master of their own fate tempat perempuan dapat membuat pilihan mereka sendiri dengan sadar dan sehat. Jika nanti saatnya mereka memilih untuk membuat pilihan baru bersama seseorang, mereka dapat menjadi pasangan setara dalam membuat pilihan-pilihan tersebut, bukan hanya sebagai pelengkap atau pemanis. Karena dengan segala peran yang disematkan untuk perempuan, mereka tetaplah manusia utuh sebagai diri mereka sendiri.

Penulis: Aini Hanafiah, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Norwegia.