Perempuan Mandiri Punya Nama Sendiri

Dyah Narang-Huth, Hamburg, Jerman
„Apalah arti sebuah nama“, satu kalimat yang tak asing bagi kita semua. Jika kita renungi, kalimat tersebut mempunyai arti yang dalam. Sebuah sikap bahwa ada hal lain yang lebih penting daripada sebuah nama.  Buat saya sendiri, tema nama selalu menarik perhatian. Sebuah nama mempunyai latar belakang tradisi tua yang sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang, terutama  bagi kehidupan seorang perempuan. Di banyak negara, perempuan menukar nama keluarganya dengan nama keluarga suami yang dinikahinya. Di Indonesia fenomena yang ada adalah perempuan Indonesia kehilangan nama depannya setelah mereka berkeluarga, berganti dengan Mama Si Tole atau  Istri Si Anu. Tetapi fenomena ini mungkin tidak banyak terjadi terhadap perempuan pemimpin. Apakah seorang perempuan harus menjadi pemimpin agar tidak kehilangan nama depannya?

Para perempuan Indonesia lahir dan mendapatkan nama yang diberikan orangtua mereka.  Biasanya nama mempunyai arti penting  dan merupakan wujud kebahagiaan, harapan bahkan sebuah doa dari orangtua mereka. Di luar nama yang menunjukkan tradisi, identitas  adat dan agama, nama depan menjadi bagian aktif dalam kehidupan para perempuan sejak lahir.  Nama tersebut seharusnya menjadi nama yang melekat di sepanjang hidup mereka. Tetapi tak jarang nama itu hanya dikenal hanya sampai mereka mendirikan keluarga. Terlepas dari hanya sebatas pemberian nama dari orang tua, ada juga aturan pemberian nama terkait adat dan hukum yang mengikat.  Mari, kita simak beberapa contoh perjalanan para perempuan pemimpin di beberapa negara dan nama depan mereka. Saya mengambil contoh Indonesia, Jerman dan Spanyol sebagai tiga negara yang saya kenal baik. Indonesia sebagai kampung halaman, tanah kelahiran. Jerman dan Spanyol sebagai kampung halaman pilihan, tanah domisili.

Megawati Soekarnoputri, nama perempuan terkenal yang pernah menjadi pimpinan negara Republik Indonesia pada tahun 2001 hingga 2004. Nama depannya sangat kental kita kenal: Megawati atau nama singkatnya, Mega. Publik menyapa politisi perempuan ini dengan sebutan Bu Mega. Sebagai pemimpin, putri dari salah satu Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia ini, sudah lebih dulu menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia dibanding negara Jerman. Benar, di Jerman, perempuan pemimpin yang disapa publik dengan nama Frau (Ibu) Angela Merkel baru pada tahun 2005 menjadi kanselir perempuan pertama di negaranya. Ia menjadi kanselir negeri Jerman 16 tahun lamanya hingga 2021. Ia juga menjadi seorang perempuan yang dicatat sejarah sebagai kanselir perempuan pertama di negara Republik Federal Jerman.  Frau Merkel diakui sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia.

Berbeda dengan Bu Mega, Frau Merkel  lahir dengan nama lain, yaitu Angela Dorothea Kasner.  Kita bisa melihat bahwa tradisi nama seorang perempuan Indonesia sangatlah kental dengan nama depan pemberian orangtuanya. Kita ambil nama lain, misalnya Profesor Conny Semiawan, seorang ilmuwan, mantan rektor Universitas Negeri Jakarta, sebutan yang lebih dikenal untuk Almarhumah adalah Ibu Conny, bukan Ibu Semiawan.  Lain halnya dengan di Jerman. Ada hukum pemberian nama, yaitu ada nama depan dan nama keluarga yang mengikat. Ada tata cara penggunaan bahasa dalam menyapa nama. Tambah lagi, ada juga aturan perubahan nama keluarga saat seseorang menikah. Saat ini hukum itu berbeda dibanding saat Frau Merkel menikah dengan suami pertamanya. Saat itu mungkin belum banyak pilihan, umumnya orang memutuskan menanggalkan nama belakangnya untuk ditukar dengan nama suaminya. Di pernikahan keduanya Frau Merkel menggunakan nama keluarga sebelumnya, tidak mengubah namanya. Kini, secara hukum, saat seseorang menikah, di Jerman ada banyak pilihan yang bisa diambil. Orang bisa menambah, mengurangi, atau pun tetap tetap mempertahankan nama yang disandang sebelumnya.   Selain contoh di atas, ada hal yang harus diingat.  Misalnya presiden Uni Eropa, seorang perempuan bernama Ursula von der Leyen, sebutannya Frau von der Leyen.  Sebutan dengan cara Indonesia dengan kata sapaan diikuti nama depan, Frau Ursula, tidak akan terjadi. Sementara di Indonesia, penambahan atau pengurangan nama yang dicatat secara hukum karena pernikahan, tidaklah menjadi bagian aturan yang digunakan. 

Contoh kecil di atas memperlihatkan perbedaan tentang penggunaan nama di masing-masing negara. Di Jerman dan di Indonesia, aturan resmi penggunaan nama itu sangat lekat dengan tradisi dan aturan hukum yang berlaku. Di bagian dunia lain ada banyak tradisi dan aturan yang berbeda. Saya ambil contoh, misalnya  budaya pemberian nama di negara Spanyol. Jangan berpikir,  bahwa sebagai salah satu negara di wilayah Eropa, aturan di Spanyol sama atau pun mirip dengan Jerman.  Penjelasan di bawah ini diharap bisa membuka pemahaman umum. Tradisi pemberian nama sama sekali tak  bergantung pada letak geografi. Memang, pada dasarnya dari pilihan nama-nama di Jerman dan di Spanyol ditemui perbedaan  dan kesamaan. Di Spanyol, pilihan nama asli Spanyol sebagai nama yang dicatat di kantor pencatatan sipil menjadi aturan yang mengikat. Nama asli Spanyol bisa menunjukkan asal geografi, ada nama khas dari wilayah Katalan, Galicia, Andalusia, dan lainnya. Orang asli Spanyol memberikan nama pada anaknya dengan memilih nama depan dari nama-nama yang sudah ada di buku nama-nama depan orang Spanyol. Saya ingat, seorang perempuan Spanyol ingin menamai anaknya Thelma, tetapi dalam buku besar nama, hanya ada nama Telma. Maka ia harus mengajukan permohonan. Aturan ini membuat nama-nama asli Spanyol tetap ada, tidak tergeser oleh nama asing.  Selain di Spanyol, kita bisa mengenali nama-nama orang Spanyol yang digunakan juga di negara-negara Amerika Selatan.

Tiap orang Spanyol, saat lahir mereka mendapatkan satu atau beberapa nama depan yang diikuti dengan dua nama keluarga yang berjejer.  Nama keluarga terdiri dari satu nama keluarga dari bapak, dan satu nama keluarga dari ibu. Kita ambil saja, ratu negeri Spanyol saat ini yang bernama Letizia Ortiz Rocasolano, nama yang disandang saat ia lahir, Letizia sebagai nama depannya, nama Ortiz adalah nama keluarga yang dia peroleh dari bapak, dan nama Rocasolano dari nama keluarga ibu. Perempuan yang sebelum menikah berprofesi sebagai seorang jurnalis itu, kini dipanggil dengan sebutan Doña Letizia. Tradisi penggunaan nama depan, yang dijadikan sebagai nama publik, tidak dikenal dalam tradisi dan aturan masyarakat Jerman, sementara dalam tradisi Spanyol, kata sebutan –Doña, Señora itu mirip dengan penggunaan sebutan bagi perempuan di Indonesia yaitu  Nona, Ibu, Nyonya.  Jadi kalau menilik tema tradisi atau pun hukum pemberian nama, kita tidak bisa menggunakan pemetaan atas dasar geografi. Di Eropa juga banyak tradisi yang mengikat dan yang membebaskan perempuan menjadi dirinya dan memilih nama dirinya sesuai yang dia inginkan. 

Para perempuan Indonesia biasanya punya nama depan yang dipakai sebagai nama diri, nama yang disebut oleh publik,  apalagi jika dia berada di posisi yang menempatkannya sebagai pemimpin. Akan tetapi, secara umum dan secara luas, dalam kehidupan perempuan yang sudah menikah di Indonesia. Kebanyakan  mereka kehilangan nama depan  karena nama panggilan yang digunakan dalam keseharian berorientasi pada suami atau anak mereka.  Jangan heran jika kita berkunjung ke rumah seorang teman perempuan, seringkali kita harus tahu siapa nama panggilan yang digunakan oleh orang sekitarnya. Seorang perempuan yang bernama Tridewi Anandaputri, setelah menikah dengan suaminya yang bernama Raja Suhari, sangat wajar jika pelan-pelan tak ada orang di lingkungan tinggalnya yang kenal nama Tridewi, Anandaputri atau nama lengkapnyakarena sejak awal berumah tangga sudah digunakan nama sebutan Bu Raja atau Bu Suhari. Nama perempuan itu bisa juga hilang saat dipakai  sebutan Mama Dewa, jika misalnya anak sulung mereka bernama Dewa. 

Para perempuan pemimpin menurut saya menjadi contoh baik mempunyai nama diri, memakai nama depan mereka. Nama depan seorang perempuan di Indonesia bisa hilang karena kebiasaan masyarakat. Sayang sekali bahwa tema ini kurang mendapat perhatian, bukan saja perhatian secara umum, tapi juga perhatian dari para penyandangnya sendiri. Bisa jadi karena keberterimaan yang tinggi dari penyandang nama tersebut. Mereka yang sudah merasa puas mendapat posisi sebutan Istri Si Anu ataupun Mama Si Tole. Jika situasinya memang demikian maka tak ada hal yang perlu diubah. Akan tetapi, untuk para perempuan yang belum terlanjur kehilangan nama depannya, saya berharap tulisan ini bisa bermanfaat sebagai bahan pertimbangan Anda. Keputusan perubahan ada di tangan Anda, siapa pun Anda, dengan nama apa pun Anda ingin tampil di ruang publik dan lingkungan Anda.  Satu hal saya yakini, bahwa tak harus jadi pemimpin untuk tetap mempertahankan nama depan Anda. Selamat Hari Perempuan Sedunia 2023!

Penulis: Dyah Narang-Huth, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.
Dyah Sri Ayoe Rachmayani Narang-Huth, lahir di Jakarta 1967. Tinggal di ibukota hingga 1992, usai lulus dari Program Studi Bahasa Jerman IKIP Jakarta. Meneruskan studi di jurusan penelitian bahasa asing dan jurusan Austronesistik di Universitas Hamburg. Selain di Jerman, juga pernah tinggal lama di Spanyol. Berprofesi di bidang pengajaran bahasa asing dan sejak 2003 berwiraswasta dengan usaha layanan budaya dan bahasa IKAT di Hamburg.