Kategorie: PUBLIKASI

Kepemimpinan Perempuan Kala Bencana, Mungkinkah?

Anna Knöbl

Apa yang Anda bayangkan jika mendengarkan kepemimpinan perempuan dalam bencana atau krisis seperti krisis pandemi yang baru saja kita lewati? Ada yang menarik tentang kepemimpinan perempuan di negeri tua dalam peradaban manusia berabad-abad lalu saat saya berlibur ke Mesir.Di sana saya mengunjungi berbagai tempat bersejarah dan mendapat pengetahuan tentang masa kejayaan negeri tertua di dunia tersebut. Pemandu wisata menjelaskan bagaimana tiap Firaun, Sang Penguasa Mesir terlibat dalam berbagai kepemimpinan memimpin negeri itu. Dalam benak saya Firaun sebagai penguasa adalah pria. Pertanyaan saya kepada pemandu wisata, apakah tidak ada Firaun seorang perempuan? Dia pun menjawab tentu ada Firaun yang juga seorang perempuan. 

Tercatat ada 6-8 Firaun perempuan dari sekian banyak Firaun yang pernah berkuasa di Mesir. Di zaman kuno, Firaun yang notabene perempuan dipilih sangat jarang sekali dalam budaya patriarki yang masih kental. Kepemimpinan Firaun perempuan lebih ditekankan pada saat Mesir terjadi krisis kepemimpinan misalnya, ketika sang Firaun laki-laki wafat dan tidak ada penggantinya lagi maka terpilihlah istrinya. 

Bagaimana sih kepemimpinan perempuan saat bencana atau krisis? Perempuan mampu memberdayakan komunitasnya secara partisipatif dan komunikatif ketimbang pemimpin lelaki yang lebih terkesan hirarki dan komando. Begitu dari literatur yang saya baca seputar kepemimpinan perempuan pada masa itu. Saya membayangkan bagaimana Cleopatra dengan cerdik memimpin negeri Mesir dan namanya tidak lekang oleh waktu. 

Kepemimpinan perempuan pada masa kini tentu Anda sudah mengenal perempuan yang menjadi tokoh  dunia lainnya. Kepemimpinan menurut saya, tidak harus selalu menjadi Leader  tetapi perempuan diberi kesempatan dalam urusan publik seperti krisis Pandemi Covid-19. Saat krisis pandemi kemarin contohnya ada kehadiran perempuan dalam penemuan vaksin Astrazeneca, mereka adalah Sarah Gilbert seorang penemu dan  seorang perempuan asal Indonesia yakni Carina Citra Dewi Joe. 

Beralih ke pengalaman lainnya saat Pandemi Covid-19 lalu. Rekan saya,  pekerja LSM di Indonesia, menceritakan tentang pendistribusian logistik dari pemerintah yang disampaikan kepada keluarga-keluarga binaannya. Sebut saja Mbah, perempuan berusia lima puluh tahunan ini terpaksa menjadi tulang punggung suaminya bekerja di sawah karena suaminya meninggal. Mbah tidak punya Handphone dan televisi karena pekerjaannya hanya sebagai buruh tani. Saat staf LSM mengantarkan bantuan sembako kepada Mbah, Mbah terkejut bercampur bahagia. Mbah pun terharu dan menitipkan pesan terima kasih kepada Covid yang telah memberikan bantuan kepadanya. Rupanya Mbah tidak pernah melihat perkembangan situasi tentang Pandemi Covid-19 lalu karena situasi sosial ekonominya dan kehidupannya sebatang kara. Mbah berpikir kalau Covid adalah nama seorang dermawan.

Anda bisa membayangkan bagaimana krisis atau bencana melanda perempuan seperti Carina Joe atau seperti Mbah yang kurang akses informasi. Belum lagi pasca bencana, perempuan dihadapkan pada situasi kehilangan suami atau anggota keluarganya yang menjadi tulang punggung keluarganya. Perempuan masih berurusan dengan kesiapan mental dan masalah ekonomi yang harus dipecahkan solusinya apalagi bila dia tidak bekerja dan tidak punya lagi tempat tinggal akibat bencana. Rentetan persoalan perempuan saat bencana bukan lagi soal perempuan yang rentan secara fisik tetapi perempuan yang bisa jadi tidak diberi kesempatan dalam situasi krisis atau bencana. 

Peran perempuan sebagai Caregiver keluarga apalagi saat bencana sangat terasa sekali saat krisis kemanusiaan Pandemi Covid-19 yang baru-baru ini kita alami. Perempuan diminta untuk mengurusi anak-anak dan keluarganya di rumah. Belum lagi beban ganda para perempuan bekerja yang dituntut berbagi tugas dan tanggung jawab antara urusan pekerjaan dan rumah tangga dalam 24 jam. Seorang rekan perempuan asal Indonesia yang tinggal di Jerman mengeluhkan beban ganda yang harus dipikulnya manakala Pandemi Covid-19 melanda dunia. Dia memilih bekerja porsi Teilzeit atau pekerjaan paruh waktu di rumah sementara dia juga harus menjadi guru bagi anak-anaknya yang juga semua dilakukannya di rumah. Hingga akhirnya dia datang kepada saya mengeluhkan semua yang dialaminya tersebut. Masalah psikologis adalah masalah yang tidak pernah terpikirkan ketika bencana datang. 

Itu baru masalah psikologis selama bencana yang dihadapi perempuan sebagai Caregiver, mengurusi dan merawat anggota keluarga lainnya bahkan keluarga besarnya. Selama bencana, perempuan berada di garda terdepan untuk menyelamatkan keluarganya. Anggapan ini berkembang kuat di masyarakat. Padahal tugas menyelamatkan keluarga saat bencana tidak hanya perempuan saja, (tetapi) seharusnya juga laki-laki. Pandangan perempuan sebagai kelompok rentan secara fisik saat terjadi bencana atau krisis tentu bisa dipatahkan dengan melibatkan perempuan dalam berbagai kesempatan seperti ibu-ibu di tenda bantuan untuk berkoordinasi dengan petugas lapangan tentang ketersediaan logistik, mencatat kebutuhan pengungsi hingga tenaga kesehatan otodidak hanya karena perempuan dianggap sebagai Caregiver keluarga.  

Saya pernah terlibat dalam penanganan trauma psikologis pada saat bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 silam. Kami tidur di posko bantuan yang lokasinya aman bersama pengungsi lainnya. Kami punya tim sukarelawan yang berasal dari warga sendiri untuk membantu mendata kebutuhan logistik warga seperti misalnya, apa saja yang diperlukan tiap-tiap rumah tangga saat itu. Hal menarik laporan pendataan yang ditulis perempuan lebih terstruktur ketimbang laki-laki dalam mengumpulkan data. Kami juga punya program penyuluhan tentang kesiapsiagaan kalau bencana datang lagi. Agar informasi ini tersampaikan dengan baik, kami meminta relawan untuk menjadi penyuluh yang datang ke keluarga-keluarga yang terdampak. Hal menarik kedua adalah penyuluh perempuan itu lebih komunikatif dan aktraktif dalam menyampaikan informasi ketimbang laki-laki. Dari pengamatan saya, penyuluh perempuan itu lebih disukai daripada penyuluh laki-laki. 

Saya tertarik untuk menuliskan kepemimpinan perempuan saat bencana ketika saya pernah terjun langsung mendampingi korban bencana seperti bencana gempa bumi tahun 2006 dan banjir besar di Jakarta tahun 2007. Pada saat banjir besar di Jakarta tersebut, saya masih bekerja di Jakarta dan bertugas sebagai sukarelawan pendamping di area yang terdampak. Budaya patriarki masih kental ketika warga yang menjadi korban lebih memilih laki-laki sebagai tenaga relawan. Alasannya perempuan dianggap lemah secara fisik. Anggapan lainnya adalah perempuan sudah seyogyanya merawat dan mengurusi anggota keluarganya yang terdampak bencana. Para perempuan hanya dilibatkan untuk dapur umum kadang-kadang atau tenaga otodidak kesehatan di tenda pengungsian. 

Ketika saya membicarakan soal pembagian peran perempuan dan laki-laki saat bencana itu, hal ini masih berbenturan dengan kebijakan yang mengatur proporsi perempuan dan laki-laki dalam penanggulangan bencana. Mereka tidak ingin melibatkan banyak perempuan karena anggapan di masyarakat. Perempuan dianggap rentan secara fisik dan dipandang sebelah mata dalam program pasca atau Recovery bencana. Anggapan yang salah dari keyakinan banyak warga yang meremehkan peran serta perempuan dalam penanggulangan bencana seperti “Perempuan bisa apa?” yang kadang menyudutkan perempuan yang ingin berdaya dan mencoba. 

Kembali lagi soal pendekatan kepemimpinan yang dilakukan perempuan seperti partisipatif dan komunikatif, perempuan bisa mengambil bagian terlibat dalam program penanggulangan bencana atau pasca krisis seperti krisis Pandemi Covid-19 yang baru-baru ini terjadi. Dengan gaya kepemimpinan perempuan tersebut, perempuan bisa terlibat dalam manajemen risiko bencana. Mengapa? Perempuan dianggap memiliki ikatan sosial yang kuat dalam masyarakatnya ketimbang laki-laki. Para ibu ingat betul siapa saja tetangga-tetangga mereka yang perlu ditolong, ketimbang para bapak. Ini hasil pengamatan saya saat membantu dalam dua bencana yang disebutkan di atas. Gaya perempuan yang komunikatif ternyata membuat pesan tanggap darurat bencana lebih diterima ketimbang gaya komunikasi laki-laki yang terkesan komando. Kepemimpinan tidak harus selalu menjadi Leader, tetapi perempuan diberi kesempatan dalam urusan publik. Itu saja, menurut saya. 

Di Hari Perempuan Sedunia 2023 ini saya berpesan agar kepemimpinan perempuan bisa dimulai dengan banyak melibatkan perempuan dalam ruang publik, tidak menunggu sampai bencana datang. Dalam situasi tanggap darurat seperti krisis atau bencana, perempuan perlu dilibatkan. Kita bisa memulai dari sekarang, sebelum bencana atau krisis datang, dengan mengajak peran serta perempuan untuk penyusunan kebijakan payung hukum tanggap bencana, manajemen risiko bencana hingga program Life Skills pemberdayaan komunitas pasca bencana. Kepemimpinan menurut saya tidak serta merta dalam urusan posisi mana yang lebih tinggi dan lebih rendah, tetapi bagaimana duduk bersama-sama dan menganggap bahwa perempuan perlu diberi kesempatan, dalam hal apapun, termasuk situasi krisis, bencana atau tanggap darurat. Selamat Hari Perempuan Sedunia 2023!

Penulis: Anna Knöbl, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.

Keibuan Adalah Kepemimpinan

Aini Hanafiah

Setiap orang punya waktu terbaik yang mereka nanti-nantikan dalam keseharian. Ada yang sangat menantikan jam istirahat untuk bertemu teman dan membeli makan siang bersama. Ada juga  menantikan jam pulang kerja, ketika pasangan datang menjemput. Sementara saya selalu menanti-nantikan waktu si Sulung pulang sekolah. Membayangkan pertanyaan apa lagi yang akan si Kecil lontarkan untuk saya dan membahasnya dalam tawa sambil sesekali saling berdebat. Ini tidak berubah selama 12 tahun belakangan.

Pada suatu siang ketika sedang menulis artikel ini dan mengalami kebuntuan, suara bel rumah memecah konsentrasi saya. Rupanya si Sulung pulang sekolah. Beberapa saat kemudian sambil menemani si Sulung melahap camilan, iseng saya bertanya, 

Do you think being a mother aligned with… leadership?” 

Well,” jawabnya, “Being a mother is basically being a leader because you are the boss of your kid and your husband, which is my papa, around most of the time.”

Mau tertawa tetapi kok terasa nyata, ya. 

Selama ini kita dijejalkan dengan romantisme motherhood image: kelemah-lembutan, merawat, feminin, dan patuh. Keibuan dan perempuan selalu dilekatkan dengan sifat-sifat pasif yang posisinya di bawah sifat-sifat maskulin yang diletakkan dalam posisi aktif dan dominan. Tak jarang kepasifan ini dipertahankan untuk memberikan ruang agar sisi maskulin lebih banyak diaktualisasikan. Sifat-sifat keibuan hanya menjadi pelengkap, peredam, atau pemanis saja. Dari situ lahirlah anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keibuan hanya pantas disematkan dengan kata ‘Cuma’. Cuma jadi ibu. Cuma mengurus keluarga. But turns out, motherhood is a work. An active work. A hard work.

Ketika memulai proses mencari pekerjaan di Norwegia, saya belajar satu kata baru: veiledning. Veiledning yang berarti ‘panduan’ atau ‘arahan’, berasal dari kata å veilede – memandu, atau mengarahkan ke jalan atau tujuan tertentu. Ini mengingatkan saya akan tugas utama seorang ibu: sebagai pengarah dan manager keluarga.

Salah satu aspek dalam kehidupan sebagai seorang ibu yang tidak pernah saya sangka adalah aktif memandu dan mengarahkan. Saya kira setelah anak-anak lahir, hidup hanya akan melulu dipenuhi popok kotor, cucian, dan membersihkan (dan bahkan menghabiskan) sisa-sisa makanan bayi. Ternyata itu hanya terjadi di dua-tiga tahun pertama saja. 

Ketika si kecil mulai bisa berkomunikasi aktif, saya disadarkan pada kenyataan bahwa tugas utama sebagai seorang ibu adalah mengarahkan dan memandu anak-anak untuk membiasakan hidup yang tertib dan mengasah pola pikir serta perilaku mereka. Apalagi ketika harus membesarkan anak di perantauan, sebuah kondisi yang bisa dibilang minim support system dalam hal kesamaan prioritas dan nilai-nilai yang dianut keluarga kami. Dan untuk bisa siap melakukan ini, saya harus mampu mengenali dan mengarahkan diri saya terlebih dahulu.

Lantas, apa hubungannya dengan kepemimpinan?

Setiap orang adalah pemimpin bagi diri mereka masing-masing. Tampak klise, tapi ada benarnya. Kepemimpinan seseorang terhadap dirinya pribadi terbentuk dari berbagai keputusan yang diambilnya pada setiap aspek kehidupan. Keputusan-keputusan yang dipelajari sedari kecil hingga dewasa, sampai seumur hidup. Dari mana lagi ini semua dapat dipelajari, kalau bukan dari orangtua. Tanpa bermaksud mengglorifikasi peran ibu, profil ayah juga memainkan peran penting di sini. Tapi mari fokus dulu dengan pengalaman para perempuan yang memutuskan untuk terjun menjalani peran sebagai ibu.

Saat ini kepemimpinan seringkali dikaitkan dengan tampilan publik. Padahal tampilan hanyalah salah satu efek dari hasil seseorang memimpin diri mereka, yang bertemu dengan orang-orang sejiwa dan lalu berkomunitas, kemudian bersama-sama mampu membawa pengaruh baik ke lingkungan sekitar. 

Kepemimpinan pun masih dilihat sebagai sesuatu yang individualistik, hanya menyoroti beberapa individu yang mampu tampil di publik, tanpa berusaha melihat seberapa besar dukungan yang individu tersebut dapatkan, atau latar belakang kehidupan yang turut membentuk individu tersebut hingga bisa bersuara dan memiliki daya pengaruh terhadap sekitarnya. Di dunia kepemimpinan yang masih mengusung nilai-nilai tradisional maskulin, gaya kepemimpinan perempuan masih sering disorot seberapa ‘kuat’ sisi maskulin perempuan muncul ketika memimpin: ketegasan, vokal menyuarakan ide dan pendapat, langkah taktis yang diambil, dan sebagainya. Tidak ada yang salah sebenarnya dari hal-hal tersebut. Tetapi seringkali orang lupa bahwa pemimpin itu dibentuk dan dirawat, tidak hanya dilahirkan. 

Dalam budaya Indonesia masihlah kental norma bahwa ketika perempuan memutuskan untuk menjalani peran sebagai seorang ibu, dia harus mengalah dan mengabadikan diri di belakang layar untuk kebaikan keluarga. Padahal semua tugas yang seorang ibu jalani bukanlah pekerjaan pasif. Mendidik anak, keluarga serta mengatur rumah tangga membutuhkan banyak ilmu, bukan hanya sebatas butuh kesabaran dan tenaga untuk mendulang pahala saja. 

Motherhood yang selama ini dilihat sebagai sesuatu yang pasif, sebenarnya adalah bentuk kepemimpinan perempuan dalam menentukan yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Kemampuan seorang perempuan dalam mengenali diri mereka dan membuat keputusan untuk kebaikan diri mereka akan terus dipakai tatkala mereka memutuskan untuk menjalani peran baru, apapun peran yang dijalani. Ketika memilih karir pekerjaan, memilih bidang ilmu, memilih pasangan, atau ketika berkomunikasi dengan pasangan dalam partnership yang setara dalam membangun keluarga, semua itu adalah sebuah seni tersendiri dalam memimpin. 

Menjadi pemimpin bagi diri sendiri tidak lantas total berhenti ketika seorang perempuan memutuskan untuk menjalani peran baru sebagai ibu. Keibuan adalah sebuah bentuk kepemimpinan aktif. Bukan hanya dengan aktif menyuarakan pendapat, tetapi juga dengan membangun empati, merawat hubungan, serta dengan welas-asih. Ketika perempuan bersama-sama membangun komunitas, mereka tidak hanya aktif merawat keluarga dan saling mendukung tetapi juga dalam konteks merawat lingkar pertemanan dan jejaring sosial yang mereka miliki.

Melihat anak-anak tumbuh di tanah perantauan ini menyadarkan saya bahwa motherhood is indeed a leadership. Saya menyadari bahwa saya tidak tahu apa-apa sampai ketika saya harus pergi meninggalkan tanah air dan memulai hidup di perantauan. Hidup yang sama sekali berbeda dengan kondisi di tanah air. Hidup di perantauan membuat saya harus banyak mengambil keputusan drastis untuk diri saya sendiri terlebih dahulu, sebelum kemudian berada di posisi di mana harus membuat banyak keputusan untuk keluarga saya. 

Segala tantangan yang saya lewati selama di perantauan, itu adalah hasil dari keputusan yang saya ambil untuk diri saya dalam ‘memimpin’ dan mengarahkan diri sendiri sebelum mengarahkan dan memandu anak-anak bersama pasangan. Saya sebagai ibu adalah support system utama anak-anak saya, terutama dalam mengarahkan identitas anak-anak saya saat tumbuh besar di perantauan ini. Ya, banyak langkah yang saya salah ambil, tetapi dari situlah pelajaran datang. Kesalahan akan menjadi alasan untuk menghukum diri sendiri, kalau kita tidak melihatnya dengan kacamata welas asih. Sifat-sifat keibuan yang dimiliki perempuan tidaklah hanya bermanfaat kala mereka membangun hubungan dengan sekitarnya tetapi juga untuk menyayangi, mendengarkan, mengasihi, serta mengarahkan hidup mereka. 

Bayangkan ketika keperempuan tetap disematkan dengan sifat-sifat pasif. Tumbuh dengan tidak diberi ruang untuk belajar, berpendapat, dan mengambil keputusan. Saya tidak bisa membayangkannya, setidaknya dalam kehidupan anak-anak saya. Yang saya bayangkan, anak-anak saya akan tumbuh di dunia baru, di mana perempuan harus dapat menjadi The Master of their own fate tempat perempuan dapat membuat pilihan mereka sendiri dengan sadar dan sehat. Jika nanti saatnya mereka memilih untuk membuat pilihan baru bersama seseorang, mereka dapat menjadi pasangan setara dalam membuat pilihan-pilihan tersebut, bukan hanya sebagai pelengkap atau pemanis. Karena dengan segala peran yang disematkan untuk perempuan, mereka tetaplah manusia utuh sebagai diri mereka sendiri.

Penulis: Aini Hanafiah, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Norwegia.

Perempuan di Sarang Penyamun

Andi Nurhaina

Perempuan ini bukan Sayu, anak perawan dari saudagar kaya raya dalam novel „Anak Perawan di Sarang Penyamun“, melainkan anak pendeta kelahiran Jerman Timur yang kemudian menjadi kanselir Jerman kedelapan, Angela Merkel. Dua windu lamanya sosok Merkel menghiasi foto tahunan bersama pemimpin negara G7, kelompok 7 negara industri terpenting di dunia. Selama waktu itu wajah para pemimpin negara G7 silih berganti, sementara yang konstan hanyalah Angela Merkel, satu-satunya perempuan di sarang penyamun. Tapi bukan perempuan lemah melainkan perempuan yang menentukan arah dan mengambil keputusan. 

Angela Merkel menduduki puncak kepemimpinan di Jerman sebagai kanselir perempuan pertama di republik ini selama 16 tahun, menyamai rekor Helmut Kohl, bapak asuh politiknya, yang juga memerintah selama 4 periode. Di tangan Merkel Jerman melewati gejolak krisis finansial, krisis ekonomi, krisis Euro, krisis pengungsi, serta krisis korona bisa dikatakan tanpa pukulan yang berarti. Untuk kebijakannya membuka perbatasan Jerman bagi para pengungsi terutama dari Timur Tengah pada masa krisis tahun 2015 yang lalu – sebuah keputusan yang tidak populer tapi sangat manusiawi – Merkel baru-baru ini dianugerahi penghargaan perdamaian dari UNESCO. Selain berkali-kali didaulat oleh Forbes sebagai perempuan paling berkuasa di dunia, pada tahun 2016 majalah TIME juga menobatkan Merkel sebagai “The leader of the free world”, pemimpin dunia bebas. Sebagai perempuan saya benar-benar bangga akan perempuan satu ini.

Lalu, bagaimana peranan kanselir perempuan ini dalam hal kesetaraan gender di Jerman? Dalam kaitan ini prestasi Merkel yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai menteri pemberdayaan perempuan ini tak segemilang pamornya di dunia internasional. Menurut penulis biografinya, Jacqueline Boysen, Merkel memilih bersikap cenderung represif karena ketergantungannya pada suara  para politikus laki-laki di belakangnya. Partai Persatuan Demokrat Kristen (CDU) yang merupakan rumah politik Angela Merkel adalah partai konservatif yang masih mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan tuntutan kesetaraan. Sementara untuk tetap memegang tampuk kekuasaan politik Merkel sangat memerlukan dukungan dari partainya. Bertahun-tahun lamanya Merkel yang tidak ingin disebut pejuang emansipasi itu menolak penetapan kuota perempuan di jajaran direksi untuk perusahaan besar dengan harapan bahwa hal itu akan terjadi dengan sendirinya. Penantian tak berujung itu kemudian diakhiri dengan pengesahan undang-undang penetapan kuota perempuan sebesar 30%  pada tahun 2015 oleh parlemen Jerman.

Sebagai hasil kerja sama dengan partai koalisi jugalah beberapa undang-undang yang menguntungkan kehidupan berkeluarga kemudian disahkan di era Merkel. Contohnya dengan Elternzeit, yaitu hak untuk mengambil cuti mengasuh anak yang dapat diambil selama maksimal 3 tahun, baik oleh ibu, oleh ayah, maupun oleh keduanya. Orang tua tidak hanya bisa kembali ke tempat kerjanya setelah cuti ini, untuk jangka waktu tertentu mereka juga bisa mendapatkan tunjangan dari pemerintah sebesar 65% atau maksimal 1.800€ dari pendapatan Netto sebelumnya, bahkan hingga 100% untuk orang tua berpenghasilan rendah. Setelah kelahiran anak kedua pada tahun 2012 saya juga memanfaatkan kesempatan ini dan mengambil cuti selama satu tahun.

Jerman memang memiliki banyak peraturan dan perundang-undangan yang  memihak perempuan. Misalnya undang-undang kesetaraan di dunia kerja yang memprioritaskan perempuan dalam proses perekrutan tenaga kerja atau kenaikan pangkat jika kualifikasinya setara dengan laki-laki. Hal ini dijamin dengan keberadaan Frauenbeauftragte di banyak perusahaan, dinas, lembaga dan instansi sosial. Perwakilan perempuan ini dilibatkan dalam proses perekrutan dan promosi jabatan di samping memastikan perlindungan dari diskriminasi dan perlakuan lain yang merugikan perempuan. Perwakilan perempuan atau perwakilan kesetaraan ini dijumpai di perusahaan atau instansi yang minimal memiliki 100 pegawai. 

Akan tetapi pada praktiknya banyak perusahaan atau instansi masih memandang kemungkinan perempuan untuk menjadi hamil dan mempunyai anak sebagai suatu kendala. Memang untuk waktu cuti hamil dan melahirkan (6 minggu menjelang persalinan dan 8 minggu setelahnya) perusahaan atau instansi harus mencari pengganti. Jika seorang pegawai perempuan mengambil cuti panjang, maka harus dicari penggantinya yang harus siap untuk meninggalkan posisi tersebut apabila si pegawai perempuan tadi ingin kembali ke posisinya –  hal yang terkadang menimbulkan dilema. Di samping itu juga ada kekhawatiran yang cukup beralasan, bahwa kemungkinan seorang pegawai perempuan meninggalkan pekerjaannya lebih besar ketika memiliki anak dalam masa pertumbuhan.

Pemerintah Jerman memang menjamin hak anak mulai umur 1 tahun untuk mendapatkan tempat di institusi pengasuhan anak seperti Kinderhaus atau Kindergarten. Hal ini tidak hanya untuk mengantisipasi kebutuhan orang tua yang bekerja tapi juga untuk mendukung pertumbuhan anak usia dini. Akan tetapi infrastruktur yang tersedia masih jauh dari memadai. Saya sendiri mengalami kesulitan besar untuk mendapatkan tempat di Kindergarten bagi anak pertama kami. Ketika dia berumur 2 tahun saya mulai mencari Kindergarten untuk tahun berikutnya ketika dia berumur 3 tahun. Saya tidak ingat lagi berapa Kindergarten dan Spielgruppe (kelompok bermain) yang saya datangi, untuk setiap kali mendapat jawaban negatif. Beberapa orang bahkan terheran-heran bahwa saya baru mulai mencari tempat pada waktu itu, seharusnya sudah jauh-jauh hari sebelumnya. ”Kalau bisa, begitu Anda punya rencana untuk punya anak Anda sudah harus mendaftarkannya di Kindergarten!” begitu canda seorang pegawai di satu Kindergarten yang saya kunjungi. Saya beruntung bisa mendapatkan tempat di salah satu Kinderhaus ketika anak saya berumur 3 tahun.

Seperti kebanyakan perempuan bekerja yang juga menjadi ibu saya pun menjalankan tugas klasik itu, yaitu mengurus anak dan rumah tangga di samping bekerja penuh atau paruh waktu – tantangan yang maha berat bagi saya. Impian memberikan yang terbaik untuk keluarga dan juga tempat kerja seringkali tidak beranjak dari utopia, atau bahkan berbalik menjadi bumerang yang membuat saya semakin memahami apa makna dari istilah „beban ganda“. Oleh sebab ini juga saya bisa memahami jika sebagian perempuan, walaupun mereka misalnya berpendidikan tinggi, lalu memilih meninggalkan pekerjaan dan mengabdikan diri untuk anak dan keluarga. Sebuah keputusan mulia yang tidak selalu mendapat penghargaan setara.

Menurut sensus mikro tahun 2019 di negara dengan pendapatan domestik brutto terbesar di Uni Eropa ini risiko kemiskinan pada perempuan juga lebih tinggi daripada untuk laki-laki. Hal ini disebabkan antara lain karena perempuan lebih banyak bekerja di sektor berpendapatan rendah dengan tunjangan yang minim, terutama untuk bisa bekerja paruh waktu agar bisa mengurus anaknya. Selain itu biografi masa kerja perempuan sering diselingi dengan jeda karena berhenti bekerja atau cuti untuk mengurus anak dan rumah tangga. Hal ini sekali lagi berarti pengurangan premi untuk asuransi pengangguran dan asuransi pensiun yang pada akhirnya akan berdampak pada pemotongan pendapatan pada masa pengangguran atau pensiun. 

Pekerjaan rumah berikutnya adalah perlakuan tidak adil dalam hal penetapan gaji yang juga masih merupakan praktik biasa di Jerman. Walaupun sudah mengalami perbaikan dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu, pada tahun 2021 pendapatan perempuan di Jerman rata-rata 18% lebih sedikit daripada pendapatan laki-laki untuk pekerjaan dengan kualifikasi yang sama. Salah satu alasannya adalah apa yang disebut Gender Care Gap, yaitu kesenjangan gender yang terjadi karena lebih banyak perempuan mengambil cuti panjang atau bekerja paruh waktu. Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif pada jenjang kenaikan gajinya. Selain itu laki-laki lebih berani untuk menuntut gaji lebih tinggi sementara perempuan tergolong lebih segan untuk tawar-menawar kenaikan gaji.

Bagaimana situasinya di Indonesia? Dalam satu hal saya juga sempat merasakan kebanggaan, bahwa Indonesia mendahului Jerman dalam hal perempuan pemimpin negara ketika Megawati Soekarno Putri menjadi presiden RI kelima sekaligus presiden perempuan pertama Indonesia pada tahun 2001. Megawati juga adalah seorang perempuan di sarang penyamun yang dipenuhi politikus laki-laki berjejak patriarki. Hal ini mungkin mendorong perdebatan tentang dikotomi antara perempuan dan laki-laki tapi belum dapat mengubah persepsi masyarakat Indonesia tentang kepemimpinan perempuan secara radikal. Dalam indeks kesenjangan gender yang dirilis oleh World Economic Forum tahun 2022 Indonesia menduduki posisi ke-94 sementara Jerman berhasil naik ke posisi ke-10 dari 146 negara.

Namun dari tanah air baru-baru ini saya terpukau melihat gambar yang menyebar dari pertemuan G20 di Bali pada bulan November tahun 2022. Ada dua sosok perempuan yang selalu mengapit Presiden Joko Widodo dalam perhelatan ini. Dua wajah familier yang juga membuktikan bahwa perempuan Indonesia bisa unjuk gigi di ruang publik, bahkan di dunia internasional. Perempuan pertama adalah Sri Mulyani, menteri keuangan yang sebelum ditarik ke kabinet Jokowi menduduki posisi direktur pelaksana di bank dunia sebagai orang Indonesia pertama. Yang kedua adalah Retno Marsudi, Menteri luar negeri yang sebelumnya memimpin perwakilan diplomatik Republik Indonesia di beberapa negara Eropa. Tapi, apakah kita hanya akan puas dengan menjadikan kedua perempuan ini inspirasi tanpa adanya aksi nyata gebrakan emansipasi? 

Kembali ke Jerman: Kuatnya cengkeraman sistem patriarki di Jerman dapat dikatakan meminimalisasi capaian di bidang kesetaraan gender selama era Merkel. Dan ketika Annalena Baerbock, perempuan muda yang mengetuai Partai Hijau, mulai digadang-gadang menjadi calon kanselir untuk pemilihan tahun 2021, banyak orang mempertanyakan – bahkan jauh sebelum pencalonannya dikukuhkan – apakah seorang ibu dengan dua anak usia sekolah dasar mampu mengemban tugas sebagai kanselir Jerman. Satu hal yang tidak akan dipertanyakan seandainya dia seorang laki-laki. Jujur saja, berapa banyak perempuan di antara kita yang tidak berpikir ke arah sana?  Bagaimana perubahan paradigma bisa terjadi jika domestikasi perempuan masih disakralkan bahkan oleh kaumnya sendiri?

Annalena Baerbock kemudian didaulat menjadi menteri luar negeri, sekaligus sebagai perempuan pertama di Jerman yang mengemban tugas ini. Di lingkungan Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara ada 6 perempuan yang memangku jabatan ini, termasuk Baerbock.  Di level ini sudah ada lebih banyak perempuan di sarang penyamun. Tapi di tingkat G7 kita kembali harus membiasakan diri dengan gambar para penyamun tanpa perempuan … entah untuk berapa lama.

Penulis: Andi Nurhaina, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.

Berdayanya Perempuan, Perkasa Bangsanya

Nurfadni Mutiah

Pada tanggal 8 maret diperingati Hari Perempuan Sedunia sejak tahun 1911. Sudah lebih dari seabad ternyata perempuan berusaha menyerukan suaranya untuk lebih bisa aktif dalam lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hari yang sakral untuk kaum perempuan menantikan eksistensinya diakui, didukung dan juga dilindungi hak dan kewajibannya. Jerman, Austria, Denmark dan Swiss merupakan negara-negara di Eropa yang pertama kali ikut merayakan Hari Perempuan Internasional tatkala Amerika Serikat juga ingin mengatasi penindasan dan juga  kekerasan terhadap perempuan. Hari Perempuan Internasional dipilih menjadi hari libur umum di dua negara bagian jerman yaitu di Mecklenburg-Western Pomerania dan Berlin. Tidak di seluruh Jerman. 

Penyempitan kesenjangan gender di dalam bidang-bidang kehidupan seperti akses kesehatan, pendidikan, partisipasi dalam dunia berpolitik hingga kesetaraan ekonomi berlanjut  menjadi permasalahan pokok yang dialami kaum perempuan. Salah satunya di negara berkembang  Indonesia, kaum perempuan kini dapat menikmati pendidikan tinggi dan pekerjaan  seperti kaum laki-laki tetapi kesenjangan gender dalam posisi kepemimpinan, potensi  penghasilan, dan peningkatan karier masih sangat mencolok. 

Perempuan melihat diri mereka sebagai emansipasi yang sanggup menginspirasi individu di dalam dirinya sendiri, menjadi kuat dan giat dalam mencapai tingkatan-tingkatan kehidupan  tertentu, seraya kemandirian mendukung untuk memperbaiki kualitas hidup. Emansipasi bukan  untuk menggeser apalagi melangkahi kaum laki-laki atau menyampingkan ajaran-ajaran agama  yang telah dipelajari dan dipahami tentang tatanan peran perempuan di lingkungan hidup sosial.  

Semboyan Hari Perempuan Internasional 2022 adalah: Kesetaraan gender hari ini untuk hari esok  yang berkelanjutan. Emansipasi tidak berarti kesetaraan, tetapi kebebasan memilih. Lebih banyak  pilihan dalam masyarakat individual memungkinkan perempuan untuk lebih berprestasi. Menteri  Federal Jerman untuk Perempuan dan Kehakiman, Christine Lambrecht telah mengeluarkan sebuah  resolusi tentang kuota perempuan dalam dunia kerja atau perluasan lebih lanjut dari fasilitas  pengasuhan anak telah diaplikasikan dalam undang-undang posisi manajemen Jerman. Hal ini agar kaum  perempuan lebih banyak dalam posisi manajerial untuk bisnis dan layanan publik.  

Dikutip dari laman Kementerian Keluarga, Orang Lanjut Usia, Perempuan dan Anak Muda Jerman (Bundesministerium für Familie, Senioren, Frauen und Jugend) “Undang-Undang Posisi  Manajemen yang baru merupakan tonggak sejarah bagi wanita di Jerman. Dengan undang-undang tersebut, dipastikan bahwa lebih banyak wanita berkualifikasi tinggi dapat maju ke manajemen puncak. Kuota minimal 30 persen perempuan kini telah terlampaui. Lebih banyak wanita di ruang  rapat, memperkaya ekonomi dan memiliki fungsi panutan yang penting, serta menyebar ke area  lain di perusahaan. Bahkan sebelum peraturan baru diberlakukan, perusahaan terkenal memiliki perempuan di dewan mereka. Ini sudah menunjukkan betapa pentingnya komitmen kami  terhadap hukum.“ 

Dari pernyataan di atas, kepercayaan publik terhadap kepemimpinan perempuan di Jerman sudah cukup tinggi. Penyuluhan dan dukungan yang terus menerus dipekikan oleh Kementerian Jerman tersebut berbuah pencapaian yang manis. Baik instansi pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan ternama di Jerman mengualisifasikan kapabilitas perempuan menduduki bagian-bagian krusial. 

Lalu bagaimana dengan perkembangan kesenjangan gender dan upah di Indonesia dalam  ruang publik? Apakah juga sudah berbuah manis atau justru semakin terasa masam? Faktanya di Indonesia usia masih saja menjadi faktor terpenting dalam bekerja. Dari sebuah penelitian dari The Conversation, kaum perempuan baru akan merasakan kesetaraan upah hasil kerja dengan  kaum laki-laki ketika mereka mencapai umur 30 tahun dan ke atas. Hal ini berlaku jika memiliki lama pengalaman  kerja yang sama dan memiliki tingkat pendidikan yang sama serta bekerja di bidang yang sejenis.  Perbedaan upah hasil kerja bisa mencapai 27,60%. Dengan bertambahnya usia,  kesenjangan upah di antara kedua kelompok ini semakin berkurang.  

Akan tetapi seiring dengannya pertambahan umur, banyak kaum perempuan yang  memutuskan untuk menikah dan memiliki buah hati. Oleh karena itu, banyak dari kaum perempuan  memilih jam kerja yang fleksibel, bahkan memilih usaha-usaha mandiri rumahan. Tak sedikitpun  yang berhenti bekerja sepenuhnya dan memilih menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Oleh sebab itu banyak perusahaan di Indonesia yang enggan merekrut kaum  wanita dalam posisi-posisi teratas perusahaan, dengan alasan fleksibilitas, loyalitas, dan dedikasi  yang bersangkutan.  

Untuk meningkatkan kesetaraan gender di dunia kerja, dibutuhkan kepercayaan  perusahaan-perusahaan dengan memberikan lebih banyak fleksibilitas waktu bagi pekerja  perempuan. Ini tidak relevan apakah paruh waktu, penuh waktu atau Home Office mengingat bahwa  pria dan wanita melihat pencapaian akan konsep kesetaraan gender secara berbeda. Penekanan  gagasan kesetaraan hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan sebagai orang tua pun  sangatlah penting. Baik seorang ayah maupun seorang ibu berhak mendapatkan cuti dalam mendidik dan  mengasuh pola anaknya secara bersama-sama tanpa memberatkan kepada salah satu pihak. 

Di Jerman, cuti orang tua dimulai pada hari kelahiran anak dan berlangsung maksimal tiga tahun. Cuti  orang tua dapat dibagi secara bebas oleh orang tua, hingga tiga bagian. Selama cuti melahirkan,  orang tua mendapatkan perlindungan khusus dari pemecatan. Perusahaan hanya dapat memecat  mereka karena alasan operasional yang mendesak. Cuti melahirkan dibayarkan untuk dua belas  sampai empat belas bulan pertama, bukan oleh pemberi kerja tetapi oleh negara dalam bentuk  tunjangan orang tua. Tidak ada hak atas pembayaran satu kali seperti bonus liburan atau tunjangan  hari raya selama periode ini. 

Pemerintah Indonesia diharapkan dapat melirik ide-ide atau gagasan-gagasan dari negara-negara lain yang telah memiliki hasil di bidang kesetaraan gender. Hal ini bisa dilakukan dengan mempelajarimemelajari, dan  menyesuaikannya dengan kondisi kemampuan negara masing-masing untuk keberlangsungan  semua kaum, baik laki-laki maupun perempuan yang merata. Tentunya, dibutuhkan juga kerja sama dan  kesadaran akan pentingnya kehadiran masing-masing pihak untuk memenuhi hak-hak dan tanggung  jawabnya. Mari memperjuangkan bersama demi menciptakan lingkungan hidup yang dinamis dan  harmonis.  

Penulis: Nurfadni Mutiah, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.

Bukan Sekedar “Konco Wingking”

Rena Lolivier

Bicara tentang kepemimpinan, yang pertama kali terlintas di kepala saya, mau tidak mau adalah peran gender. Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar suku-suku di Indonesia menganut pola patriarki dalam budayanya, di mana posisi laki-laki dianggap lebih tinggi dan dominan dibandingkan dengan perempuan. Budaya konvensional seringkali mendiskreditkan peran perempuan baik dalam ranah domestik maupun publik. Bahkan di masa lalu, perempuan dianggap tidak layak untuk mengenyam pendidikan yang setara dengan tingkat pendidikan laki-laki. Seiring bergulirnya waktu, sampai saat ini hal ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Kiprah perempuan dari yang tadinya hanya terbatas di ranah domestik, kini semakin muncul ke permukaan.

Lahir dan dibesarkan sebagai seorang perempuan Jawa, konsep patriarki tidak lagi asing bagi saya. Dalam budaya Jawa sendiri ada istilah bagi konco wingking untuk sebutan istri atau secara literal dapat diartikan dengan “teman di belakang”. Istilah wingking sendiri diambil dari konsep arsitektur rumah Jawa di mana dapur selalu berada di bagian paling belakang rumah, namun kata wingking atau belakang dalam istilah konco wingking dipahami sebagai posisi di mana “seharusnya” seorang perempuan di dalam ranah domestik.  Menurut ideal konvensional budaya Jawa, seorang istri harus bisa memenuhi dan melayani kebutuhan suaminya yang sering kali disebut sebagai 3M: macak, manak, masak (berdandan, melahirkan dan memasak). Menurut Dian (1996:76) Perempuan sering kali dituntut untuk mendampingi suami dalam kondisi apapun sampai pada budaya Jawa kemudian terdapat istilah: yen awan dadi theklek, yen bengi dadi melek yang berarti perempuan di siang hari menjadi alas kaki dan malam hari menjadi alas tidur. 

Konsep konco wingking ini kemudian menjadi salah satu bentuk konstruksi masyarakat yang diterapkan dalam kehidupan domestik, walaupun seiring dengan perkembangan jaman pola ini sedikit menjadi “longgar”. Longgar, bukan berarti lantas hilang. Seperti yang disampaikan oleh Notoatmodjo (2007), tradisi konco wingking mengkonstruksikan suatu sistem budaya yang menyediakan seperangkat pengetahuan dan model untuk bertindak, baik sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial. Hal ini kemudian memberikan pedoman tingkah laku bagi perempuan, khususnya perempuan Jawa. Pengetahuan yang dimiliki perempuan tentang konco wingking ini kemudian membentuk segala tindakan dan bahkan posisi perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Pengetahuan inilah yang kemudian menjadi domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour). Oleh karena itu, pengetahuan perempuan tentang konsep konco wingking ini telah membentuk identitas struktur perempuan yang dibentuk dari tataran domestik (rumah) yang kemudian mengantarkannya pada tataran publik (sosial).

Selain macak, manak, masak, seiring dengan perkembangan jaman dan modernisasi, perempuan juga dituntut dalam peran-peran domestik lainnya mulai dari mengurus anak sampai mengatur perekonomian keluarga. Perkembangan jaman kemudian memunculkan pergeseran peran perempuan dari ranah domestik ke publik. Hal ini merupakan tanda penting dari perkembangan realitas sosial ekonomi dan politik. Kesadaran perempuan semakin meningkat terhadap peran non domestik. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran aktivitas perempuan yang bukan saja sebagai pelaksana terhadap pekerjaan rumah namun juga perempuan telah berperan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan bidang-bidang lain di luar rumah tangga (Abdullah 2003:22). Semakin modern, perempuan tidak dapat lagi hanya dijadikan objek konco wingking saja. Perempuan tidak lagi dapat ditempatkan di dalam suatu kotak atau wadah tertentu. Perempuan saat ini telah menjadi subyek yang mampu memilih sendiri tempat dia harus berpijak. Hal ini dibuktikan dari banyaknya perempuan yang bekerja dan bahkan memiliki pengaruh yang cukup kuat di dalam masyarakat.

Nama perempuan Jawa Susi Pudjiastuti tentu tidak asing lagi di telinga kita. Namanya sempat menjadi sorotan publik ketika Presiden Joko Widodo menunjuknya menjadi Menteri Kelautan ke-6 Indonesia. Bagaimana tidak, seorang perempuan Jawa yang hanya merupakan lulusan SMP bisa menjabat menjadi seorang menteri. Perempuan Jawa yang seharusnya menurut budaya konvensional hanya bisa menjadi konco wingking ini telah mendobrak tembok-tembok patriarki. Kesuksesan Susi Pudjiastuti dalam mendobrak tembok-tembok ini tentu bukan tanpa perjuangan. Susi merasa tidak bisa melakukan hal yang tidak disukainya karena baginya melakukan hal yang tidak disukai hanya akan memberikan hasil yang tidak optimal. Setelah dikeluarkan dari bangku SMA karena terlibat aktif dalam gerakan GOLPUT yang dianggap ilegal pada masa pemerintahan Orde Baru, Susi tidak lantas diam dan menyerah. Susi lantas menjual perhiasan miliknya dan menjadikan uang hasil penjualan perhiasan itu sebagai modal usaha. Berkat kegigihan dan kepintarannya dalam menjalankan usaha, Susi akhirnya dapat membuka pabrik pengolahan ikan yang berhasil menembus pasar Asia dan Amerika. 

Tuntutan untuk dapat mendistribusikan produk hasil lautnya dengan segar hanya dapat dilakukan dengan mengirimkannya menggunakan pesawat. Inilah yang kemudian menjadi langkah awal Susi untuk menjalani bisnis penyewaan pesawat. Ketika terjadi bencana Tsunami Aceh pada tahun 2004, pesawat milik Susi-lah yang pertama berhasil mengakses Meulaboh. Saat itu kota Meulaboh menjadi salah satu lokasi bencana yang paling parah. Pesawat milik Susi inilah yang kemudian digunakan untuk mendistribusikan bantuan kepada para korban yang daerahnya tidak bisa dicapai menggunakan alat transportasi lainnya. 

Dari sinilah arah bisnis perusahaan Susi kemudian berubah. Susi semula hanya berniat untuk mendistribusikan bantuan dengan gratis, namun ternyata banyak lembaga non-pemerintah yang meminta bantuannya untuk berpartisipasi dalam pemulihan Aceh. Lalu ketika bisnis perikanan miliknya sedang mengalami penurunan, Susi kemudian menyewakan pesawat miliknya untuk menjalankan mendistribusikan bantuan kemanusiaan. Sampai saat ini perusahaan penyewaan pesawat milik Susi sudah mempekerjakan setidaknya 170 pilot dan mengoperasikan 50 pesawat terbang dalam berbagai jenis. Ketika kemudian Susi ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menjabat posisi sebagai Menteri Kelautan Indonesia yang ke-6, Susi kemudian melepaskan semua jabatan yang dimilikinya untuk menghindari konflik kepentingan antara fungsi regulator dan pebisnis. 

Menjabat sebagai Menteri Kelautan, sosoknya kerap menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena gayanya yang dinilai eksentrik, tetapi juga keberaniannya. Salah satunya adalah keberanian dan komitmennya untuk memberantas tindakan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUFF). Langkahnya untuk menenggelamkan kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia menjadi salah satu kebijakan yang dinilai berani dan menjadi sorotan. Hal inilah yang menjadikan profil Susi Pudjiastuti menonjol dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat. 

Sebagai perempuan, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sosok Susi Pudjiastuti. Etos kerja dan gaya kepemimpinannya tidak hanya menginspirasi, tetapi juga membuktikan bahwa posisi perempuan saat ini tidak lagi hanya sekedar konco wingking. Profilnya bisa menjadi contoh bahwa perempuan bisa menjadi subyek dan dapat menentukan kehidupannya tidak melulu harus terbentur dengan embel-embel gender. 

Nyatanya di luar ranah domestik perempuan juga dapat menginspirasi perubahan dengan menjadi tokoh dan pemimpin yang baik. Tidak peduli gender ataupun tingkat pendidikan yang dimiliki, jika kita memiliki tekad yang kuat dan konsistensi semua dapat kita raih karena nyatanya pendidikan itu tidak hanya melulu tentang apa yang ada di atas kertas, tetapi tentang bagaimana kita hidup dan menjalani kehidupan dengan menggunakan akal budi yang diberikan oleh Tuhan kepada kita.

Penulis: Rena Lolivier, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Swiss

Sekarang Giliran Saya Bersuara

Brigita

Jacinda Ardern, Ursula von der Leyen dan Angela Merkel merupakan sederetan nama pemimpin wanita dalam bidang politik yang dikenal dunia. Banyak wanita yang menjadikan mereka inspirasi, tapi mungkin ada juga yang merasa, inspirasi mereka berakhir hanya pada tahap fantasi. „Ah, mereka kan memiliki karir yang bagus, latar belakang pendidikan yang mendukung, public speaking  yang baik. Lalu saya?“ mungkin begitu pikir kita. Tidak semua wanita dapat mengidentifikasikan dirinya dengan role model tersebut. 

Jika kita memiliki pikiran seperti ini, saatnya mengubah cara pandang kita. Tidak hanya melihat ke atas atau ke samping, melihat kesuksesan wanita di sekitar kita, tapi lebih penting melihat ke dalam diri sendiri dan fokus pada pengembangan diri. Apakah dalam perjalanan pengembangan diri saya, saya telah mencapai aktualisasi diri? Apakah saya puas dengan pencapaian saya dan saya nyaman dengan diri saya sendiri? Skill apa yang perlu saya asah untuk mencapai target pribadi saya? Mungkin pertanyaan ini dapat membantu kita dalam merefleksikan kebutuhan psikologis kita. 

Abraham Maslow menggambarkan kebutuhan manusia dalam struktur piramida, di mana aktualisasi diri berada di puncak piramida. Kebutuhan ini akan muncul setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial dan penghargaan terpenuhi. Aktualisasi diri dapat diartikan bahwa kita telah menyadari potensi diri kita sendiri dan menggunakan kemampuan ini secara optimal dalam kehidupan kita sehari-hari dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setelah menyadari potensi ini, mungkin ini saatnya kita para wanita memberanikan diri untuk memimpin. 

Kepemimpinan kaum wanita di Indonesia tidak bisa dibilang minim, namun hal ini masih dianggap istimewa dan belum dianggap lumrah dan bisa diterima sepenuhnya setara dengan kepemimpinan kaum pria. Kesempatan wanita untuk memimpin pun dalam masyarakat masih sedikit. Tanpa kebijakan kuota untuk pemimpin wanita, wanita harus berjuang sendiri mencapai puncak karirnya. Sudah di puncak pun, wanita harus berhadapan dengan stereotip gender yang berkembang dalam budaya patriarki yang mengakar. 

Stereotip feminitas pada wanita tertanam dalam masyarakat sejak dini. Contohnya anak laki-laki akan diberikan mainan mobil dan anak perempuan akan diberikan mainan boneka. Anak laki-laki diharapkan sebagai pemimpin rumah tangga sehingga nantinya membutuhkan mobil sebagai sarana transportasi untuk mencari nafkah, sedangkan anak perempuan diharapkan sebagai seorang ibu yang akan membesarkan dan mengasuh anak-anaknya. Stereotip dalam pola asuh inilah yang menciptakan stereotip gender, termasuk dalam konsep kepemimpinan.

Komunikasi memegang peranan penting dalam konsep kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menggerakan anggotanya untuk mencapai tujuan kelompoknya. Oleh karena itu pemimpin harus didengarkan suara dan arahannya. Penelitian-Penelitian di bidang Sosiolinguistik telah membuktikan bahwa gaya bahasa yang digunakan wanita berbeda dengan bahasa yang digunakan pria. Gaya bahasa wanita memungkinkan wanita untuk menuturkan pemikirannya melalui bahasa yang menunjukan identitas dirinya. Wanita ingin penyampaiannya diterima dalam struktur kebahasaan masyarakat yang lebih didominasi oleh pria.

Gaya bahasa wanita memiliki karakteristik yang dapat dikenali. Robin Lakoff, seorang profesor di bidang linguistik mengidentifikasi karakteristik bahasa yang digunakan oleh wanita. Salah satu karakteristik yang menandai gaya bahasa wanita adalah penggunaan aspek kesopanan dalam tata bahasanya. Contohnya ketika pria lebih menggunakan kalimat perintah langsung seperti: „Tutup pintunya!“, wanita mengungkapkan perintah dalam bentuk pertanyaan seperti „Apakah Anda tidak keberatan untuk menutup pintunya?“ 

Dalam gaya bahasa wanita ini keputusan untuk menutup pintu diserahkan kepada penerima tugas dan menimbulkan kesan bahwa wanita tidak yakin dengan keinginannya. Hal ini bisa menjadi dilema bagi pemimpin wanita dalam mencapai tujuannya. Padahal dengan gaya bahasa wanita, wanita merasa dapat berbicara dengan kepercayaan diri, kenyamanan, kemandirian, dan perasaannya. Jika wanita keluar dari pola ini dan berbicara secara langsung seperti pria, wanita akan dianggap tidak feminin, tidak disukai, dan dianggap kasar. 

Konstruksi ini yang membatasi wanita, mengatur posisi wanita dalam masyarakat, dan menghambat kualitas kepemimpinan wanita. Namun, di sisi lain, penelitian yang lebih baru menilai gaya bahasa wanita yang halus sebagai kekuatan wanita. Gaya bahasa ini dapat juga digunakan wanita secara sadar untuk mempengaruhi lawan bicaranya dan merupakan strategi wanita dalam mencapai tujuannya. Pemahaman akan gaya bahasa wanita dapat membantu pemimpin wanita merefleksikan secara kritis cara berkomunikasinya karena bahasa mengubah cara berpikir dan dapat memengaruhi tindakan.

Sayangnya kesempatan wanita untuk memimpin masih kurang. Untuk menciptakan kesempatan yang kurang didukung sistem diperlukan inisiatif. Ini artinya wanita harus aktif untuk menciptakan peluang dalam memimpin. Mungkin dalam karir kesempatan sebagai pemimpin belum tercapai. Namun ketika ada kesempatan-kesempatan kecil, cobalah berinisiatif mengambil tanggung jawab untuk memimpin, misalnya inisiatif mengorganisir acara. 

Jika kesempatan ini pun belum datang, ciptakanlah peluang saat anda mempresentasikan ide atau gagasan Anda. Bicaralah dengan kepercayaan diri dan cara komunikasi yang secara sadar ditujukan untuk wanita atau pria sehingga kita sebagai wanita dapat berjuang menciptakan peluang untuk memimpin yang mungkin belum datang. Perjalanan kita masih panjang.  

Penulis: Brigita Febrina Jipi Saputra, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.

Perempuan: Pemimpin yang Inklusif

Debora Sisca

Angela Merkel merupakan Kanselir Jerman perempuan pertama yang bisa membuktikan, bahwa perempuan juga bisa memimpin suatu negara dengan stabil selama 16 tahun. Berdasarkan pengalaman hidupnya, perempuan yang dibesarkan di Jerman Timur ini mengetahui benar makna dari kemerdekaan, sebab ia tumbuh dewasa dalam masyarakat yang terisolasi.

Ketika ia memulai karir pertamanya sebagai ilmuwan fisika di Berlin Timur, setiap hari ia harus menyaksikan tembok Berlin sepanjang jalan pulang, sebab ia tinggal tidak jauh dari situ. Ia melihat tembok Berlin yang terbentang sebagai hambatan bagi kemerdekaan dirinya. 

Runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 bukan hanya merupakan peristiwa runtuhnya sebuah bangunan, namun juga runtuhnya kekakuan ideologi. Kecakapan memimpin Angela Merkel bisa dilihat sebagai bukti runtuhnya stigma, bahwa superioritas adalah hak laki-laki semata. 

Tanpa berniat membandingkan diri dengan Angela Merkel, tapi secara alamiah saya juga terlahir sebagai perempuan. Dan mungkin semesta sedang berpihak pada saya, karena sekarang saya berkesempatan hidup di Jerman. 

Sebagai seorang guru bahasa Jerman bagi imigran, saya diberikan kekuasaan di dalam kelas, di mana kendali ada di tangan saya. Peserta didik yang saya hadapi berasal dari berbagai negara dan budaya yang beragam, sehingga tantangan yang muncul menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan kelas homogen. Bahkan sebagian besar dari mereka merupakan pengungsi dari negara-negara konflik, yang artinya mereka juga turut membawa beban psikologis seperti trauma. 

Tugas saya dalam mengajarkan bahasa Jerman adalah berjalan bersama mereka dan menuntun mereka melampaui berbagai tembok batasan, sehingga perlahan mereka bisa menyesuaikan diri dengan konteks kehidupan yang baru dan melanjutkan hidup mereka secara mandiri. 

Pada mulanya, kadang saya merasa ragu dalam menghadapi berbagai dinamika situasi di kelas. Namun seiring berjalannya waktu saya menyadari, bahwa ternyata saya harus membuka diri saya terlebih dahulu, agar mereka bersedia membuka hati mereka untuk proses belajar. Ternyata saya harus melihat banyak hal dari perspektif mereka dan mendengarkan mereka untuk membuka gerbang-gerbang kemungkinan lainnya. Ternyata saya harus memulai merangkul mereka terlebih dahulu untuk bisa meruntuhkan tembok-tembok pembatas di antara kami.

Dalam konteks sosial, tembok pembatas bisa berupa konstruksi paradigma konvensional yang bisa menjadi sekat dalam pergaulan sesama manusia. Jika dalam berkomunikasi kita hanya mengamini bahwa pandangan kita yang terideal maka disitulah kita menciptakan jarak dengan lawan bicara. 

Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan dalam konteks masyarakat Indonesia, saya seringkali melihat bahkan merasakan sendiri kakunya tembok di kepala banyak orang dalam memandang kemerdekaan perempuan.

Pada suatu siang yang terik di depan sebuah warung kecil di Jogja, sembari menunggu teman, saya duduk dan bercakap-cakap dengan seorang ibu pemilik warung. Di sana kami bertukar berbagai cerita dan lelaku hidup. Ketika ia mengetahui bahwa saya, di usia saya, belum berkeluarga dan memilih untuk berkarir di Jerman, sontak ia berkomentar: „Masih menunggu apa lagi sih, Mbak? Perempuan itu kan hidup bukan untuk diri kita sendiri saja, namun juga untuk keluarga. Sebaiknya tidak usah terlalu lama mempertimbangkan pilihan hidup.“ 

Saat itu saya memilih untuk menanggapi seperlunya, tidak berdiskusi lebih lanjut dengannya, dan perlahan meninggalkannya. Karena saya yakin, kami tidak akan bisa berbicara secara konstruktif. Namun yang menjadi perenungan saya adalah: Mengapa sebagian perempuan konvensional masih gemar mengambil peran sebagai penasihat kehidupan bagi perempuan lainnya? Ditambah lagi, mereka gemar menggunakan kata sapaan „Mbak“ seolah supaya terdengar akrab, meski pun isi komentar yang dilontarkan sama sekali bukan lah sebuah sapaan keakraban. 

Pembatas kemerdekaan tidak hanya selalu berbentuk bangunan fisik seperti tembok Berlin, namun juga bisa berbentuk konstruksi paradigma sosial di kepala manusia. Bak tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Timur setelah perang dunia kedua, demikian juga lah tembok-tembok konvensional di dalam kepala, yang mampu membatasi keakraban antar manusia,  bahkan membatasi ruang gerak perempuan.

Perempuan itu dipimpin atau memimpin? Siapakah yang menentukan pilihan hidup perempuan dalam ranah privat dan sosial? Sejauh mana perempuan berhak mengaktualisasikan diri sesuai dengan pilihan hati mereka? 

Kembali ke sosok Angela Merkel, ia merupakan sosok pemimpin perempuan kuat dan berpengaruh di Jerman bahkan Eropa. Dalam pengambilan keputusan, ia sangat mempertimbangkan fakta dan bekerja sesuai metodologi dengan penuh ketelitian. Dalam masa kepemimpinannya, ia mampu membuka gerbang-gerbang komunikasi dan negosiasi dalam politik Eropa dan dunia. Selain itu, retorika yang ia pakai cenderung menekankan kerjasama dalam pemecahan berbagai masalah. 

Ketika diwawancarai oleh salah satu media Jerman Deutsche Welle, ia diberi pertanyaan perihal taktik yang ia gunakan ketika menghadapi pemimpin negara dengan ideologi berbeda, seperti Putin dan Erdogan. Dengan tenang ia menjawab, bahwa ia selalu datang ke percakapan semacam itu dengan hati yang terbuka. Bahkan ia menegaskan betapa pentingnya mendengarkan lawan bicara, meskipun orang tersebut memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan dirinya. Karena jika kita kehilangan kemampuan mendengarkan, maka tidak ada celah untuk solusi, tegasnya.

Terkait dengan kebijakan politik bagi para imigran dari berbagai negara konflik, ia menunjukkan sikap inklusivitas kemanusiaannya dengan jelas. Ketika Jerman pada tahun 2015 membuka pintu bagi para pengungsi tersebut, ia menunjukkan sisi lembut keperempuannya; bahkan ia diberi sebutan „Mutti“ atau „Ibu“ oleh banyak orang. Terlebih lagi ketika ia mengunjungi Prancis dan berjalan bersama Presiden Emmanuel Macron, banyak warga Prancis menyorakinya „Vive Mutti!“ atau „Hidup Ibu!“. Hal ini patut diapresiasi, karena dari kacamata sejarah negara Jerman dan Prancis tidak selalu berada dalam hubungan yang bersahabat. Dalam konteks ini, Angela Merkel sebagai pemimpin mampu menunjukkan dan membuktikan sifat-sifat inklusivitas feminin sepanjang karir politiknya. 

Di ranah privat, ia tergolong sebagai orang yang cenderung suka menyendiri dan sangat menghormati ruang-ruang pribadinya. Ia gemar memberi ruang kepada dirinya sendiri untuk meregenerasi energi, misalnya dengan berkebun atau melakukan berbagai aktivitas di alam. Saya rasa, hal ini lah yang membuatnya selalu bisa menampilkan performa yang stabil dalam perannya sebagai pemimpin perempuan di ruang publik. 

Secara pribadi, saya mengaguminya sebagai sosok pemimpin perempuan yang cerdas, berkarakter pragmatis, berorientasi pada solusi, memiliki kecakapan interpersonal yang mumpuni, serta mengutamakan harmoni baik dalam konteks negara Jerman, Uni Eropa maupun global. 

Menurut saya, baik seorang pemimpin maupun pendidik tidak hanya membutuhkan kemampuan intelegensinya semata, namun juga kedalaman rasa inklusivitas. Inklusivitas merupakan salah satu dimensi feminin, sedangkan eksklusivitas merupakan salah satu dimensi maskulin. Feminin dan maskulin yang saya maksudkan di sini bukanlah perihal gender semata, namun ini perihal dimensi sifat manusia. Kedua dimensi tersebut ada di dalam diri kita sebagai manusia, meskipun tendensinya berbeda-beda. 

Selama ini kita bisa melihat bahwa pergerakan dunia, kebijakan politik bahkan cara hidup kita lebih didominasi oleh eksklusivitas dimensi maskulin, yang cenderung berorientasi pada ego dan ambisi. Misalnya, cara kita mengeksploitasi planet bumi selama ini merupakan salah satu manifestasi dimensi maskulin. Ide kita untuk menumbuhkan ekonomi adalah dengan cara mengeruk habis sumber daya alam, tanpa berusaha mengembalikan potensinya kembali. Rumpangnya kesadaran meregenerasi alam berarti juga lunturnya dimensi feminin sehingga belakangan ini muncul semacam kerinduan untuk mengembalikan etika dan dimensi energi feminin, yang cenderung lebih inklusif. 

Aspek-aspek feminin seperti melindungi, mengasuh, merawat, empati, kasih sayang, reflektif, dan inklusif yang ada dalam diri perempuan merupakan kekuatan yang mampu membawa keseimbangan. Secara alamiah dan berkaca dari peran Angela Merkel, karakter inklusivitas memang tak bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Saya melihat hal ini sebagai anugerah bagi kita, perempuan. 

Sudah lama kemampuan perempuan diragukan dalam ranah publik, namun perkembangan zaman ternyata menunjukkan bahwa dunia juga membutuhkan aspek-aspek feminin dalam menyelesaikan banyak perkara. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memberikan lebih banyak kesempatan bagi para perempuan untuk memimpin dan berkontribusi dalam penyelesaian berbagai perkara. 

Lantas pertanyaan mendasarnya sekarang adalah: Bagaimana cara menumbuhkan kecakapan perempuan agar keseimbangan dalam memimpin itu bisa terwujud?

Menurut saya, sebelum menjadi pemimpin di ruang publik, perempuan seharusnya memberikan ruang dan waktu untuk memimpin dirinya terlebih dahulu. Untuk hal ini, setiap perempuan seharusnya bersedia memulai revolusi batiniah untuk mengenal dirinya sendiri secara lebih dalam. Revolusi batin tersebut bisa dimulai misalnya dengan afirmasi semacam ini: 

“Potensi ada di dalam diriku dan pilihan ada di tanganku. Aku ingin mengubah diriku, menyesuaikan diriku dan melakukan hal terbaik yang aku bisa di setiap situasi yang aku hadapi.”

Dalam hal ini saya ingin memberikan semangat bagi semua perempuan di Indonesia tanpa terkecuali; bahwa setiap perempuan berhak menjadi pemimpin atas dirinya terlebih dahulu. Oleh karena itu merupakan sebuah dasar bagi mereka menuju ranah aktualisasi diri yang lebih luas. 

Baik sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri, sebagai pemimpin harian dalam hidup berkeluarga, maupun sebagai pemimpin di ruang publik; seorang perempuan seharusnya memiliki keseimbangan antara kedua dimensi: maskulin (doing) dan feminin (being). Perempuan memiliki kemerdekaan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan potensi dirinya dan ia berhak mengaktualisasikan diri sesuai dengan pilihan hidup dan suara batinnya.

Jika setiap perempuan di ranah mereka masing-masing bisa mempraktikkan dan melatih keseimbangan dalam dirinya maka saya rasa, jiwa kepemimpinan dan kecakapan memimpin akan mengalir secara natural dan indah. Hal itu merupakan sebuah harapan menuju model kepemimpinan yang lebih inklusif dan mampu memanusiakan manusia.

Selamat hari perempuan sedunia 2023 bagi semua perempuan Indonesia!

Penulis: Debora Sisca, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.

Perempuan, Kartini dan Konsepsi Persatuan Bangsa

Risti Handayani

Perempuan adalah bagian penting dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat dalam berbagai nuansa budaya. Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi.

Gerakan kebangkitan nasional semakin bergelora sejak diterapkannya Politik Etis Hindia-Belanda atau dikenal pula sebagai Politik Balas Budi pada tahun 1901, yang memberi kesempatan kepada kaum bumiputera untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. 

Politik Etis yang diberlakukan oleh Belanda bagaikan sebilah pedang bermata dua. Pada awalnya ia dimaksudkan untuk meninggikan daya beli rakyat Hindia Belanda, serta menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik dari rakyat tanah jajahan. Biaya produksi kapitalisme tanah jajahan harus ditekan; terlalu mahal menggunakan tenaga impor dari Belanda. Ternyata, pembukaan sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat kelas dua seperti Sukarno, menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan barat yang nantinya akan menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.

Dampak pemberlakuan Politik Etis begitu terasa oleh kaum Bumiputera. Perkebunan dan sawah-sawah bertambah subur setelah disirami dengan air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh penjajah Belanda. Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite. Namun dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat itu telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional. Para pemuda itu pun kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri. Pencerahan pemikiran membuat orang-orang muda Bumiputera berkumpul, bicara, berdiskusi dan mengorganisir lahirnya perkumpulan-perkumpulan. Diawali dengan berdirinya organisasi Budi Utomo, pada tahun 1908.

Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan berdirinya Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana seantero negeri secara sporadis. Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Tak terkecuali kaum perempuannya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah, seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu, lalu ada Maria Wolanda Maramis, Nyi Ageng Serang dll. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibanding para “kawula” yang bertelanjang dada dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh Kumpeni. Terusik, karena kepemilikan pribadinya terganggu dan tak perlu masuk sekolah Belanda untuk membangun gerakan nasional. Para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, membayar dengan nyawanya, dan dibuang di lautan seperti Tiahahu atau diasingkan seperti Tjut Nyak Dien.

Bahkan beberapa belas tahun sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir pula seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri maka perempuan harus mendapatkan pendidikan yang cukup sebagai bekal dalam menjalani kehidupan mereka. Kartini selama ini telah kita kenal sebagai seorang pelopor dan pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartini-lah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudara laki-lakinya.

Kartini yang cerdas itu telah menulis surat-surat. Menyala-nyala dengan cita-cita dan keinginan untuk belajar dan bebas, Kartini harus menerima kenyataan hanya disekolahkan hingga usia 12 tahun. Bahasa Belanda telah dikuasai maka energi, gairah, kekecewaan dan angan-angannya disalurkan lewat surat-suratnya yang mengejutkan, begitu indah dan puitis. Berbagai literatur yang memuat tulisan tentang Kartini menyatakan bahwa gagasan-gagasan utama Kartini adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun kalangan atas, serta reformasi sistem perkawinan. Dalam hal ini menolak poligami yang ia anggap merendahkan perempuan. Namun dalam Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini menjadi sentral dari praktik perjuangannya). Kartini, bagi Pram adalah feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme, hingga ke tulang sumsumnya.

Surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari Belanda, banyak yang telah dihancurkan. Namun justru dari beberapa percakapan tertulis dengan Stella-lah yang banyak membuka mata dan hati Kartini terhadap masalah perempuan dan pembebasannya. Ini juga memahat secara perlahan-lahan penolakannya akan dominasi golongan feodal terhadap rakyat kecil. Surat Kartini yang secara khusus membahas buku Auguste Bebel, De Vrouw en Sosialisme dihapus oleh Abendanon karena kepentingan kolonialnya. Kartini banyak menerima buku-buku progresif semacam ini dari sahabatnya H.H van Kol, seorang sosialis demokrat anggota Tweede Kamer. Mungkin dari surat-surat itu, gambaran yang lebih utuh tentang pikiran-pikiran politik Putri Jepara yang tak ingin dipanggil dengan gelarnya itu, bisa lebih utuh. 

Satu hal yang juga perlu dicatat adalah saat Kartini menulis surat-suratnya, sentimen nasionalisme yang terorganisir belum muncul. Organisasi pertama kaum buruh SS Bond (StaatsSpoor ), baru hadir tahun 1905, setahun setelah kematian Kartini. Tradisi menggunakan media surat kabar dan terbitan untuk menyebarluaskan propaganda, belum timbul. Karya jurnalisme awal dari Sang Pemula (Tirto Adhi Suryo), Medan Prijaji  baru terbit tahun 1906. Referensi dari gagasan-gagasan orisinil Kartini berasal dari berbagai literatur berbahasa Belanda yang dibaca Kartini dalam masa pingitannya, serta korespondensinya dengan khususnya Stella. Adalah satu hal luar biasa bahwa Kartini yang sendirian, terisolasi, dan merasa sunyi itu mampu membangun satu gagasan politik yang progresif untuk zamannya, baik menyangkut kaum perempuan maupun para kawula miskin tanah jajahan. Nasib tragis Kartini menjadi salah satu petunjuk bahwa tak ada jalan baginya untuk membangun perjuangan dengan cara lain yang lebih kuat dan efektif. Di saat itu zaman beorganisasi belum muncul, selain lewat pendidikan. 

Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat istiadat feodal masih sangat kental di sekeliling Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran  Kartini tersebut. 

Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetaplah Sang Pemula. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. 

Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan perempuan berbasiskan agama, seperti Aisyiyah, Muslimat dll, turut pula membentuk beragam gerakan perempuan. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran bukan hanya dalam Bahasa Belanda melainkan terutama dalam Bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya. Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan kebangkitan bangsa. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima oleh seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.

Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Kaum perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya untuk bersekolah. Meskipun demikian, ternyata masih banyak hambatan bagi perempuan untuk mencapai kedudukan atau peningkatan prestasi seperti yang diharapkan, setara dengan kedudukan, dan prestasi laki-laki. Salah satu yang menjadi hambatan adalah masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki, yang memunculkan anggapan „setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga”.

Bersyukur anggapan kuno tersebut semakin hari semakin tergerus jaman, seiring beragam perubahan cakrawala pemikiran secara global. Bagaimanapun kaum perempuan sejatinya adalah partner kaum laki-laki dalam beragam aspek kehidupan sehingga sudah sewajarnya akan selalu saling mengisi dan melengkapi dalam perspektif kesetaraan dan persamaan.

Penulis: Risti Handayani, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Belanda.

Keselarasan Sang Perempuan pada Hempasan Masa

Tyka Karuniawan

Dewasa saat ini sedang terjadi proses transkulturasi di mana terjadi pertemuan antar kebudayaan, yaitu kebudayaan timur dan kebudayaan barat. Sejak lama pula kebudayaan dunia termasuk ilmu pengetahuan, fesyen, dan bahkan gaya hidup (Life style) banyak didominasi oleh kebudayaan barat. Di era globalisasi ini bukan saja dunia timur dilanda konsep dunia barat melainkan dunia barat pun mulai mengenal dan menerapkan budaya timur yang sudah sangat tua. Seperti budaya Bali, budaya Jawa, budaya Cina dan masih banyak lagi dunia barat memelajari dan mengajarkan budaya budaya timur di negaranya. Bahkan mereka menerapkan nilai-nilai budaya tersebut di dalam kehidupan mereka  sehari-hari.

Penularan-penularan budaya ini begitu cepat terjadi dan dominan dipicu dari peran sang perempuan di dalamnya. Fakta saat ini banyak muncul perempuan asli Spanyol yang mahir berbahasa daerah yang ada di Indonesia misalnya bisa berbahasa Jawa, bisa berbahasa Bali, atau bisa berbahasa Sunda. Selain mereka bisa berbahasa Indonesia, mereka juga bisa menguasai kesenian tari Bali, dan bisa menguasai cara membatik. Bahkan saat ini mampu membuka kursus tari Bali dan memiliki tempat kursus cara membatik di ranah Spanyol ini. Dia juga tahu cara memasak masakan khas Indonesia dan menjadikan menu makan malamnya.

Dikutip dari keberhasilan Angela Lopez Lara yang beralamatkan di Madrid Spanyol, dia berhasil memelajari budaya Bali. Saat ini dia mengajar dan membuka kursus tari Bali di Madrid Spanyol. Selain penularan budaya dari Indonesia, ada juga yang menguasai budaya Cina dan budaya dari negara-negara timur lainya.

Kesuksesan perempuan-perempuan hebat ini membuktikan bahwasanya peran perempuan itu sudah sangat jelas ada dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Perkawinan campur antara barat dan timur pun menjadi prasarana penularan dan pertukaran budaya yang terjadi begitu cepat. Dengan fakta-fakta ini, seperti memberikan ruang pendapat bahwa sang perempuan telah memiliki ruang yang selaras dengan laki-laki. Perubahan-perubahan besar yang terjadi saat ini tidaklah luput dari peran sang perempuan hebat di dalamnya.

Sebelum saya menulis, jauh saya mengajak Anda semua untuk melihat, mengerti, dan memahami dua sisi sang perempuan atas tingkat keberdayaannya. Dua sisi ini akan menciptakan sebuah hasil yang berlawanan antara satu dan lainnya. Dua tingkatan keberdayaan itu antara lain sisi pertama,  perempuan itu ibarat air.

Dia akan terus mengalir dengan tenang dan mata airnya menjadikan sumber kehidupan bagi makluk hidup serta tumbuhan yang ada di muka bumi ini. Tetapi air yang tenang itu bisa juga membawa kita terjebak dan tenggelam di dalamnya. Dalam artian perempuan adalah sumber kemakmuran yang bisa membawa kemakmuran baik di lingkungan kecil maupun di sebuah lembaga besar.

Perempuan akan memberikan sumber-sumber kekuatan yang dahsyat apabila ditempatkan pada tempat yang benar serta nilai-nilai penghargaan atas kedudukan perempuan. Perempuan akan mampu berkolaborasi dengan baik dan menciptakan sebuah hasil yang menakjubkan. Namun bila perempuan ditempatkan di tempat yang kurang betul, bisa menjadikan bumerang bagi banyak insan. Sifat perempuan ditindas, dilecehkan, tidak dihargai ini adalah sumber air yang bahkan bisa menenggelamkan dunia.

Sisi kedua adalah perempuan bisa juga menjadi sebuah bola api yang bisa membakar, menjadikan arang, dan hanya meninggalkan sisa-sisa abu di muka bumi ini. Dalam artian sudah saya singgung di atas, penghargaan nilai-nilai norma perempuan harus dijunjung tinggi, dihargai, dan dilestarikan.

Itulah kehebatan dan kekuatan daya yang ada pada sang perempuan. Di era globalisasi saat ini belum semua orang bisa mengerti dan memahami dua sisi perempuan ini. Bahkan mereka belum melibatkan perempuan untuk berkolaborasi baik di tingkat lingkungan atau organisasi kecil maupun di sebuah komunitas yang besar seperti ruang politik, keuangan, wirausaha bahkan ketatanegaraan.

Sudah banyak kita melihat peran-peran yang sangat luar biasa tercipta dari perempuan-perempuan hebat. Peran sang perempuan pada era cerita Siti Nurbaya sudah seakan-akan mulai lenyap, lama-lama hilang terkubur begitu saja dengan berjalannya masa. Yaitu dari masa dulu ke masa kini dan hanya meninggalkan sepenggal cerita.

Sedikit kita menoleh ke belakang lagi atau ke masa yang sudah lampau sebenarnya. Sudah begitu banyak kekuatan daya perempuan yang mampu menciptakan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan di dunia ini. Akan tetapi itu masih kurang untuk mengetuk hati sang perempuan lainya untuk membangun keberanian diri, meniru bahkan melakukan jejak perempuan-perempuan hebat tersebut.

Namun dengan berjalannya masa, dari masa lampau ke masa baru, menghantarkan sang perempuan memiliki perubahan-perubahan besar. Tentunya dari pengaruh perubahan besar tersebut, ini mampu menciptakan sebuah perubahan yang besar pula di lingkungan perempuan tersebut. Sang perempuan tidak akan tertinggal begitu saja .

Kemajuan dan perubahan besar sebuah negara akan didominasi oleh peran sang perempuan dan juga peran dari anak-anak bangsa. Sejatinya di sini peran utama berasal dari peran sang perempuan tersebut. Anak-anak bangsa yang begitu hebat dan cerdas luar biasa terlahir ke muka bumi ini dari sang perempuan.

Perempuan tidak cukup hanya melahirkan saja, tetapi juga membesarkan, mendidik, menumpu, dan membentuk sebuah karakter dari anak-anak bangsa tersebut. Begitu adalah mayoritas peran hebat sang perempuan.

Menyadari akan kekuatan daya sang perempuan di tanah Spanyol ini, tidak heran apabila Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez  mengatakan dengan semangat antusias „Selamat datang dunia baru!’’ dengan memilih dan memercayakan kabinet barunya yang didominasi oleh sang perempuan. Adalah 11 menteri perempuan dan 6 menteri laki-laki.

Ini telah menjadi sejarah pertama kalinya dalam demokrasi moderen di negara Spanyol. Gebrakan gerakan gelombang demo feminis dengan jumlah kisaran di atas ribuan wanita turun ke jalan. Pada tanggal 8 Maret 2018 tuntutan tersebut antara lain: keselarasan kedudukan perempuan dengan laki-laki, kesamaan derajat, kesamaan gaji disuarakan oleh mereka. Sinyal ini ditangkap oleh Pedro Sanchez sehingga dia memutuskan bahwa peran perempuan di sekelilingnya akan membawa perubahan besar dan kemajuan di negara tersebut.

Selain di negara  Spanyol, tidak kalah juga di negara kita yaitu Indonesia yang terus bermunculan sosok perempuan-perempuan hebat. Mereka mengisi dan turut serta ambil andil dalam peranya untuk membangun dan membawa negara Indonesia. Misalnya perubahan besar susunan kabinet menteri yang memercayakan kekuatan perempuan di dalamnya.

Ada partai politik, bisnis, dan masih banyak fakta perubahan besar lainnya yang tidak lepas dari peran sang perempuan yang luar biasa dalam keikutsertaannya berkolaborasi di dalam ruang publik. Ini telah menjadikan suatu  inspirasi bagi perempuan-perempuan lain di tengah masa perubahan besar dalam hempasan masa.

Perubahan-perubahan besar ini tidak hanya terjadi di daerah perkotaan yang mungkin sarana dan prasarana lebih memadai tetapi juga di daerah yang mungkin internet belum begitu sempurna difungsikan. Dampak dari perjalanan waktu, dari masa ke masa, tersebut akan membentuk sang perempuan untuk memiliki perubahan.

Sebuah kesimpulan dalam beberapa poin mungkin bisa membantu Anda semua menjadi bahan pengingat antara lain:

  1. Setiap perempuan itu dilahirkan ke muka bumi ini dengan memiliki keunikan tersendiri, kecantikan, kelembutan, kecerdasan, dan keberanian serta kekuatan yang luar biasa dan juga memiliki peran untuk mampu melahirkan anak-anak muda yang hebat. Kekuatan, kesabaran, dan kecerdasan sang perempuan tidak ada batasannya. Namun sang perempuan mampu mengontrol diri untuk tidak menjadi kelewat batas dalam setiap perannya.
  2. Perempuan adalah sumber energi kekuatan yang tepat untuk membangun dan mefungsikan keberdayaannya untuk mencapai suatu titik keberhasilan. Ini merupakan titik kesuksesan yang besar apabila ditempatkan pada tempat yang benar apabila diberi kepercayaan, toleransi dan dihargai.
  3. Kesamaan kuasa ataupun tingkat kepemimpinan sosok perempuan bukan suatu pukulan. Ini bukan hal yang sangat menyedihkan bagi kaum laki-laki. Justru ini merupakan kolaborasi dengan laki-laki pada hal-hal yang tidak bisa dilakukan seorang laki-laki.
  4. Sesungguhnya kesuksesan seorang laki-laki itu pasti ada peran perempuan hebat di belakangnya.

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat dan bisa sedikit menambah informasi bagi Anda semua. Mari kita memahami, mengerti, dan menghargai sesama dengan cinta kasih sejati.

Penulis: Tyka Karuniawan, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Spanyol.

Westy: Inspirasi dari Perempuan Trengginas di Tengah Pemain Industri Metalurgi Dunia

Etty Prihantini Theresia

Bertubuh mungil dan lincah, Westy Aden Bialke sekilas tampak  seperti salah satu fashionista yang kerap kita temui di pusat kota Frankfurt, salah satu kota pusat financial di Eropa Barat.  Penampilannya yang modis dan memesona menyimpan energi yang luar biasa. Siapa nyana, nama anak perempuan satu-satunya dari  empat bersaudara ini merupakan salah satu nama yang seringkali muncul dalam tender proyek-proyek pabrik metalurgi dunia. 

Ketertarikan Westy, begitu dia biasa dipanggil, pada bidang teknik berawal dari keluarga. Dia mendengarkan percakapan sang Ayah yang merupakan seorang insinyur sipil dan juga diskusi-diskusi dengan sang kakak yang telah lebih dulu memilih untuk berkuliah di bidang yang sama. Hal ini membuat Westy merasa bahwa bidang ini adalah bidang yang keren dan sangat menarik. Selain itu didukung oleh kesukaan dan prestasi Westy di bidang matematika dan fisika semasa duduk di bangku sekolah.

Prestasi Westy dan kecocokannya di bidang yang sudah dipilihnya terbukti dengan pekerjaan pertama yang didapatkannya. Lulus dari Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada tahun 1992, Westy langsung direkrut oleh ARCO (Atlantic Richfield Indonesia Inc.). Ini adalah sebuah perusahaan dengan kantor pusat di Amerika Serikat.

Dia bekerja di sebuah proyek di Pulau Pagerungan. Karena performanya yang mengesankan atasan, sang atasan pun meneruskan dokumen-dokumen Westy kepada seorang Head Hunter. Melalui inilah Westy kemudian direkrut untuk bekerja di Lurgi yakni sebuah perusahaan metalurgi yang berpusat di Jerman pada tahun 1995. 

Ini menjadi prestasi tersendiri bagi Westy karena dia adalah insinyur pertama yang direkrut di Indonesia. Tentu berbeda dengan insinyur-insinyur sebelumnya yang direkrut dari luar Indonesia untuk bekerja di lokasi  proyek di Indonesia.

Perusahaan ini membangun berbagai pabrik pengolahan bahan alam untuk klien-klien di berbagai negara, sebuah perusahaan di bidang pembangunan dan konsultan teknik, yang seringkali identik dengan dunia laki-laki. Pada saat krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998-1999, Westy pun diminta untuk bergabung dengan cabang perusahaan Lurgi di Malaysia.

Pada tahun 2001 dia pun ditawari untuk pindah ke kantor pusat di Frankfurt, Jerman. Kesempatan ini pun tidak disia-siakannya. Hingga saat ini Westy pun masih tinggal dan bekerja di kota Frankfurt. 

Melalui berbagai proyek di Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Chili, Trinidad dan banyak negara lain, Westy meniti karir selama 30 tahun terakhir hingga pada perusahaan dan posisinya saat ini.  Sebagai Direktur Bidang Pemasaran dan Proposal di perusahaan Metso: Outotec yang berkantor pusat di Finlandia, wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawab Westy meliputi seluruh dunia.

Dia juga bertanggung jawab atas manajemen proposal di pusat-pusat kompetensi perusahaan di Jerman, India dan Amerika Serikat. Sebagai satu-satunya perempuan di Departemen Pemasaran dan Proposal, Westy memimpin tim yang bekerja dari berbagai lokasi di seluruh dunia.

Salah satu puncak karirnya sampai saat ini adalah jabatan sebagai Vice President Proposal Management pada tahun 2016-2018, sebelum perusahaan mengalami perubahan struktur manajemen. 

Ketika ditanya tentang tantangan apa yang dihadapinya sebagai perempuan yang berkarir di dunia yang sering dilihat sebagai dunia khas laki-laki, Westy memiliki beberapa jawaban yang menarik. Dia  mengakui bahwa dalam bidang tertentu perempuan sering disepelekan.

Namun yang menarik adalah pengalamannya bahwa tantangan ini justru lebih besar ketika dia masih merintis karir di Indonesia.  Selain tantangan untuk membuktikan diri bahwa dirinya adalah insinyur yang berkualitas.

Dia juga  berhadapan dengan stereotype yang dimiliki baik oleh orang Indonesia sendiri maupun oleh tenaga kerja asing yang menganggap bahwa kualitas SDM dari luar negeri lebih baik daripada SDM lokal. Hal ini  membuat Westy semakin bersemangat untuk membuktikan bahwa perempuan Indonesia pun tidak  kalah kualitasnya dengan insinyur-insinyur lain. 

Di samping itu, ada tantangan-tantangan yang tidak hanya berkaitan dengan gender. Ada juga berkaitan dengan asal, seperti pada saat dia mengambil alih sebuah proyek di Malaysia pada tahun  1999.

“Mereka sempat khawatir, apakah orang Malaysia akan bisa menerima pemimpin dari  Indonesia, perempuan pula,” katanya.

“Tapi ternyata tidak ada masalah dan proyeknya sangat sukses,” tambahnya sambil tertawa. 

Secara umum Westy menjelaskan bahwa cukup sulit bagi perempuan untuk diakui setara, apalagi di bidang yang secara tradisional dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan setidak-tidaknya harus 50% lebih  baik atau bahkan dua kali lebih baik daripada pekerja laki-laki.

Untuk merebut kesempatan dalam  bidang yang secara tradisional adalah male domain pun cukup menantang. Seringkali yang dilihat pertama kali sebagai pekerja berpotensi adalah laki-laki, kemudian perempuan sebagai pilihan  berikutnya. Oleh karena itu, penting bagi pekerja perempuan untuk memiliki profil istimewa agar tetap menonjol di antara kandidat-kandidat lainnya. 

Sambil menceritakan perjalanan karirnya yang luar biasa, Westy mengatakan bahwa pada awalnya dia,  seperti banyak perempuan lain. Dia harus bekerja keras untuk membuktikan diri. Dalam perjalanan  karirnya, Westy merasa pada awal tidak banyak konflik karena dia berkonsentrasi kepada  performa.

Dia hanya satu dari banyak staf bawahan yang fokusnya bekerja keras. Hal ini bergeser ketika karirnya sudah mulai menanjak dan posisinya sudah masuk ke jajaran manajemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik perusahaan mulai memengaruhi proses dan cara kerja orang-orang yang bekerja pada tingkat manajemen.

Di antara jajaran manajemen yang mayoritas laki-laki kadang terbentuk kelompok-kelompok yang saling berkomunikasi tanpa melibatkan Westy. Itu sebab dia harus lebih proaktif untuk mengejar informasi. 

“Perempuan adalah pemimpin yang lebih baik,“ kata Westy sambil tersenyum simpul, “aku meyakini itu.”

Salah satu hal yang telah dialami dan dipraktikkan oleh Westy sendiri adalah bahwa perempuan  memiliki insting dan kepekaan untuk menangkap apa yang diperlukan oleh anggota tim untuk menjadi  ‘A winning team‘.

Dia mengatakan bahwa melalui kepekaan khas perempuan ini, dia mampu  menangkap apa yang dibutuhkan oleh anggota timnya untuk bisa mengembangkan potensi mereka secara maksimal meskipun pada saat bersamaan dia juga menuntut performa yang luar biasa dari  seluruh anggota timnya. Sebagai timbal balik dari perhatian dan dukungan dari sang Atasan, anggota timnya sangat loyal dan bersedia memberikan usaha terbaik bagi kesuksesan tim. 

Ketika saya minta untuk mendeskripsikan gaya kepemimpinannya, Westy menjawab dengan spontan,  “Aku menempatkan diri sebagai Role model. Tugasku mendemonstrasikan dan memberi contoh.” 

Westy mengatakan bahwa dia tidak segan untuk melakukan semua pekerjaan, apapun itu. Kalau ada anggota tim yang datang dan mengatakan bahwa dia perlu bantuan, bantuan apa pun akan dikerjakan. Dia adalah bagian dari tim dan bukan bos. Komunikasi yang jelas dan tegas menjadikan semua anggota  tim mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan tetap siap meminta bantuan jika diperlukan. 

Yang menarik bagi saya adalah ketika Westy bercerita bahwa tantangan tidak hanya muncul di bidang  kerja, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Sebagai perempuan Asia yang menikah dengan laki-laki Jerman dan tinggal di Eropa, Westy bercerita bahwa dia terkadang dipandang sepele oleh orang-orang  yang belum mengenalnya.

Meskipun Westy sendiri sering tidak ambil pusing, tetapi dia bercerita bahwa sang suamilah yang pada awalnya seringkali memperkenalkan dirinya. Suaminya langsung  bercerita dengan bangga, “Istriku ini insinyur!“

Hal ini untuk membongkar stereotype perempuan asing yang dianggap menumpang hidup dengan pasangannya yang berkulit putih. “Sesudah 18 tahun menikah sih sudah tidak perlu lagi ya. ‘Kan kenalan kami semua sudah tahu hehehe,” kata Westy. 

Di samping suami yang bangga akan identitas dan pencapaiannya, Westy juga sangat bersyukur karena  pasangan hidupnya ini sangat mengerti tuntutan pekerjaannya. Datang dari latar belakang pekerjaan yang sama, sang suami mengerti beban dan bidang kerjanya.

“Kalau sama-sama pulang kerja, dia tahu betul hari ini seberat apa.”

Westy pun tidak khawatir meninggalkan rumah dalam rangka perjalanan dinasnya ke seluruh dunia karena mereka saling bekerja sama di dalam dan di luar rumah tangga. 

“Suamiku lebih sering memasak loh, daripada aku.” 

Harus diakui, mencapai karir yang luar biasa dan memimpin tim internasional dengan klien yang  bekerja dalam zona waktu yang berbeda-beda membuat Westy sulit menjaga Work-life balance

“Meskipun idealnya pulang kerja lepas dari telepon genggam, tetapi pada kenyataannya sulit ya. ‘Kan klien dan anggota timku jam kerjanya beda-beda,” dia mengakui.

“Tapi akhir pekan tetap milik suami ya, dikombinasikan dengan ketemu sesama orang Indonesia di Gereja,” tambahnya. 

Ada banyak hal yang disyukuri oleh Westy: karir yang moncer dan pasangan yang baik, serta kesempatan  untuk membahagiakan dan mengunjungi kedua orang tua di Indonesia dua kali setiap tahunnya. 

Sebelum berpisah saya bertanya kepada Westy tentang tips atau hal-hal apa yang ingin dia bagi untuk  sesama perempuan Indonesia. Perempuan berpaspor Indonesia ini pun membagikan pengalamannya. 

“Jangan ragu-ragu untuk mengeksplorasi diri!”

Bakat apapun, dalam bidang apapun, harus digunakan  sebaik-baiknya. Tidak penting apakah bakat dan minat itu ada bidang akademis, sosial, budaya, dan  lain-lain, eksplorasilah karena ini adalah bagian penting kehidupan. 

“Jangan bergantung pada laki-laki!”

Westy berpesan bahwa seorang perempuan harus punya jati diri  dan harus mampu berdiri di kaki sendiri. Dia menekankan pentingnya pendidikan karena pendidikan  adalah salah satu pilar penting jati diri dan kemandirian. Apabila di kemudian hari, perempuan memilih  untuk menjadi ibu rumah tangga secara penuh maka itu pun tidak masalah. Namun dia sudah punya jati diri dan  modal pribadi untuk duduk setara dengan partner hidupnya. 

“Yang terakhir, jangan takut untuk mengambil tantangan!”

Banyak perempuan cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Namun kadang kehati-hatian ini menjadi batu sandungan jika bersaing dengan laki-laki yang cenderung lebih cepat menjawab “Bisa!“ ketika menghadapi tantangan.  Westy mengatakan bahwa perempuan perlu lebih berani untuk mengambil risiko dan percaya pada diri sendiri, “Saya bisa!“. 

Tak terasa sudah lebih dari satu setengah jam saya menimba inspirasi dari pemimpin perempuan di  depan saya. Saatnya kami mengejar kereta untuk kembali ke rumah masing-masing. Sambil  merapatkan jaket, saya berterima kasih dan mengamatinya menghilang di antara para penumpang  kereta bawah tanah di pusat kota Frankfurt. 

Penulis: Etty Prihantini Theresia, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman