Perempuan: Pemimpin yang Inklusif

Debora Sisca

Angela Merkel merupakan Kanselir Jerman perempuan pertama yang bisa membuktikan, bahwa perempuan juga bisa memimpin suatu negara dengan stabil selama 16 tahun. Berdasarkan pengalaman hidupnya, perempuan yang dibesarkan di Jerman Timur ini mengetahui benar makna dari kemerdekaan, sebab ia tumbuh dewasa dalam masyarakat yang terisolasi.

Ketika ia memulai karir pertamanya sebagai ilmuwan fisika di Berlin Timur, setiap hari ia harus menyaksikan tembok Berlin sepanjang jalan pulang, sebab ia tinggal tidak jauh dari situ. Ia melihat tembok Berlin yang terbentang sebagai hambatan bagi kemerdekaan dirinya. 

Runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 bukan hanya merupakan peristiwa runtuhnya sebuah bangunan, namun juga runtuhnya kekakuan ideologi. Kecakapan memimpin Angela Merkel bisa dilihat sebagai bukti runtuhnya stigma, bahwa superioritas adalah hak laki-laki semata. 

Tanpa berniat membandingkan diri dengan Angela Merkel, tapi secara alamiah saya juga terlahir sebagai perempuan. Dan mungkin semesta sedang berpihak pada saya, karena sekarang saya berkesempatan hidup di Jerman. 

Sebagai seorang guru bahasa Jerman bagi imigran, saya diberikan kekuasaan di dalam kelas, di mana kendali ada di tangan saya. Peserta didik yang saya hadapi berasal dari berbagai negara dan budaya yang beragam, sehingga tantangan yang muncul menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan kelas homogen. Bahkan sebagian besar dari mereka merupakan pengungsi dari negara-negara konflik, yang artinya mereka juga turut membawa beban psikologis seperti trauma. 

Tugas saya dalam mengajarkan bahasa Jerman adalah berjalan bersama mereka dan menuntun mereka melampaui berbagai tembok batasan, sehingga perlahan mereka bisa menyesuaikan diri dengan konteks kehidupan yang baru dan melanjutkan hidup mereka secara mandiri. 

Pada mulanya, kadang saya merasa ragu dalam menghadapi berbagai dinamika situasi di kelas. Namun seiring berjalannya waktu saya menyadari, bahwa ternyata saya harus membuka diri saya terlebih dahulu, agar mereka bersedia membuka hati mereka untuk proses belajar. Ternyata saya harus melihat banyak hal dari perspektif mereka dan mendengarkan mereka untuk membuka gerbang-gerbang kemungkinan lainnya. Ternyata saya harus memulai merangkul mereka terlebih dahulu untuk bisa meruntuhkan tembok-tembok pembatas di antara kami.

Dalam konteks sosial, tembok pembatas bisa berupa konstruksi paradigma konvensional yang bisa menjadi sekat dalam pergaulan sesama manusia. Jika dalam berkomunikasi kita hanya mengamini bahwa pandangan kita yang terideal maka disitulah kita menciptakan jarak dengan lawan bicara. 

Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan dalam konteks masyarakat Indonesia, saya seringkali melihat bahkan merasakan sendiri kakunya tembok di kepala banyak orang dalam memandang kemerdekaan perempuan.

Pada suatu siang yang terik di depan sebuah warung kecil di Jogja, sembari menunggu teman, saya duduk dan bercakap-cakap dengan seorang ibu pemilik warung. Di sana kami bertukar berbagai cerita dan lelaku hidup. Ketika ia mengetahui bahwa saya, di usia saya, belum berkeluarga dan memilih untuk berkarir di Jerman, sontak ia berkomentar: „Masih menunggu apa lagi sih, Mbak? Perempuan itu kan hidup bukan untuk diri kita sendiri saja, namun juga untuk keluarga. Sebaiknya tidak usah terlalu lama mempertimbangkan pilihan hidup.“ 

Saat itu saya memilih untuk menanggapi seperlunya, tidak berdiskusi lebih lanjut dengannya, dan perlahan meninggalkannya. Karena saya yakin, kami tidak akan bisa berbicara secara konstruktif. Namun yang menjadi perenungan saya adalah: Mengapa sebagian perempuan konvensional masih gemar mengambil peran sebagai penasihat kehidupan bagi perempuan lainnya? Ditambah lagi, mereka gemar menggunakan kata sapaan „Mbak“ seolah supaya terdengar akrab, meski pun isi komentar yang dilontarkan sama sekali bukan lah sebuah sapaan keakraban. 

Pembatas kemerdekaan tidak hanya selalu berbentuk bangunan fisik seperti tembok Berlin, namun juga bisa berbentuk konstruksi paradigma sosial di kepala manusia. Bak tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Timur setelah perang dunia kedua, demikian juga lah tembok-tembok konvensional di dalam kepala, yang mampu membatasi keakraban antar manusia,  bahkan membatasi ruang gerak perempuan.

Perempuan itu dipimpin atau memimpin? Siapakah yang menentukan pilihan hidup perempuan dalam ranah privat dan sosial? Sejauh mana perempuan berhak mengaktualisasikan diri sesuai dengan pilihan hati mereka? 

Kembali ke sosok Angela Merkel, ia merupakan sosok pemimpin perempuan kuat dan berpengaruh di Jerman bahkan Eropa. Dalam pengambilan keputusan, ia sangat mempertimbangkan fakta dan bekerja sesuai metodologi dengan penuh ketelitian. Dalam masa kepemimpinannya, ia mampu membuka gerbang-gerbang komunikasi dan negosiasi dalam politik Eropa dan dunia. Selain itu, retorika yang ia pakai cenderung menekankan kerjasama dalam pemecahan berbagai masalah. 

Ketika diwawancarai oleh salah satu media Jerman Deutsche Welle, ia diberi pertanyaan perihal taktik yang ia gunakan ketika menghadapi pemimpin negara dengan ideologi berbeda, seperti Putin dan Erdogan. Dengan tenang ia menjawab, bahwa ia selalu datang ke percakapan semacam itu dengan hati yang terbuka. Bahkan ia menegaskan betapa pentingnya mendengarkan lawan bicara, meskipun orang tersebut memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan dirinya. Karena jika kita kehilangan kemampuan mendengarkan, maka tidak ada celah untuk solusi, tegasnya.

Terkait dengan kebijakan politik bagi para imigran dari berbagai negara konflik, ia menunjukkan sikap inklusivitas kemanusiaannya dengan jelas. Ketika Jerman pada tahun 2015 membuka pintu bagi para pengungsi tersebut, ia menunjukkan sisi lembut keperempuannya; bahkan ia diberi sebutan „Mutti“ atau „Ibu“ oleh banyak orang. Terlebih lagi ketika ia mengunjungi Prancis dan berjalan bersama Presiden Emmanuel Macron, banyak warga Prancis menyorakinya „Vive Mutti!“ atau „Hidup Ibu!“. Hal ini patut diapresiasi, karena dari kacamata sejarah negara Jerman dan Prancis tidak selalu berada dalam hubungan yang bersahabat. Dalam konteks ini, Angela Merkel sebagai pemimpin mampu menunjukkan dan membuktikan sifat-sifat inklusivitas feminin sepanjang karir politiknya. 

Di ranah privat, ia tergolong sebagai orang yang cenderung suka menyendiri dan sangat menghormati ruang-ruang pribadinya. Ia gemar memberi ruang kepada dirinya sendiri untuk meregenerasi energi, misalnya dengan berkebun atau melakukan berbagai aktivitas di alam. Saya rasa, hal ini lah yang membuatnya selalu bisa menampilkan performa yang stabil dalam perannya sebagai pemimpin perempuan di ruang publik. 

Secara pribadi, saya mengaguminya sebagai sosok pemimpin perempuan yang cerdas, berkarakter pragmatis, berorientasi pada solusi, memiliki kecakapan interpersonal yang mumpuni, serta mengutamakan harmoni baik dalam konteks negara Jerman, Uni Eropa maupun global. 

Menurut saya, baik seorang pemimpin maupun pendidik tidak hanya membutuhkan kemampuan intelegensinya semata, namun juga kedalaman rasa inklusivitas. Inklusivitas merupakan salah satu dimensi feminin, sedangkan eksklusivitas merupakan salah satu dimensi maskulin. Feminin dan maskulin yang saya maksudkan di sini bukanlah perihal gender semata, namun ini perihal dimensi sifat manusia. Kedua dimensi tersebut ada di dalam diri kita sebagai manusia, meskipun tendensinya berbeda-beda. 

Selama ini kita bisa melihat bahwa pergerakan dunia, kebijakan politik bahkan cara hidup kita lebih didominasi oleh eksklusivitas dimensi maskulin, yang cenderung berorientasi pada ego dan ambisi. Misalnya, cara kita mengeksploitasi planet bumi selama ini merupakan salah satu manifestasi dimensi maskulin. Ide kita untuk menumbuhkan ekonomi adalah dengan cara mengeruk habis sumber daya alam, tanpa berusaha mengembalikan potensinya kembali. Rumpangnya kesadaran meregenerasi alam berarti juga lunturnya dimensi feminin sehingga belakangan ini muncul semacam kerinduan untuk mengembalikan etika dan dimensi energi feminin, yang cenderung lebih inklusif. 

Aspek-aspek feminin seperti melindungi, mengasuh, merawat, empati, kasih sayang, reflektif, dan inklusif yang ada dalam diri perempuan merupakan kekuatan yang mampu membawa keseimbangan. Secara alamiah dan berkaca dari peran Angela Merkel, karakter inklusivitas memang tak bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Saya melihat hal ini sebagai anugerah bagi kita, perempuan. 

Sudah lama kemampuan perempuan diragukan dalam ranah publik, namun perkembangan zaman ternyata menunjukkan bahwa dunia juga membutuhkan aspek-aspek feminin dalam menyelesaikan banyak perkara. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memberikan lebih banyak kesempatan bagi para perempuan untuk memimpin dan berkontribusi dalam penyelesaian berbagai perkara. 

Lantas pertanyaan mendasarnya sekarang adalah: Bagaimana cara menumbuhkan kecakapan perempuan agar keseimbangan dalam memimpin itu bisa terwujud?

Menurut saya, sebelum menjadi pemimpin di ruang publik, perempuan seharusnya memberikan ruang dan waktu untuk memimpin dirinya terlebih dahulu. Untuk hal ini, setiap perempuan seharusnya bersedia memulai revolusi batiniah untuk mengenal dirinya sendiri secara lebih dalam. Revolusi batin tersebut bisa dimulai misalnya dengan afirmasi semacam ini: 

“Potensi ada di dalam diriku dan pilihan ada di tanganku. Aku ingin mengubah diriku, menyesuaikan diriku dan melakukan hal terbaik yang aku bisa di setiap situasi yang aku hadapi.”

Dalam hal ini saya ingin memberikan semangat bagi semua perempuan di Indonesia tanpa terkecuali; bahwa setiap perempuan berhak menjadi pemimpin atas dirinya terlebih dahulu. Oleh karena itu merupakan sebuah dasar bagi mereka menuju ranah aktualisasi diri yang lebih luas. 

Baik sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri, sebagai pemimpin harian dalam hidup berkeluarga, maupun sebagai pemimpin di ruang publik; seorang perempuan seharusnya memiliki keseimbangan antara kedua dimensi: maskulin (doing) dan feminin (being). Perempuan memiliki kemerdekaan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan potensi dirinya dan ia berhak mengaktualisasikan diri sesuai dengan pilihan hidup dan suara batinnya.

Jika setiap perempuan di ranah mereka masing-masing bisa mempraktikkan dan melatih keseimbangan dalam dirinya maka saya rasa, jiwa kepemimpinan dan kecakapan memimpin akan mengalir secara natural dan indah. Hal itu merupakan sebuah harapan menuju model kepemimpinan yang lebih inklusif dan mampu memanusiakan manusia.

Selamat hari perempuan sedunia 2023 bagi semua perempuan Indonesia!

Penulis: Debora Sisca, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.

Vorheriger Artikel