Berdayanya Perempuan, Perkasa Bangsanya
Nurfadni Mutiah
Pada tanggal 8 maret diperingati Hari Perempuan Sedunia sejak tahun 1911. Sudah lebih dari seabad ternyata perempuan berusaha menyerukan suaranya untuk lebih bisa aktif dalam lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hari yang sakral untuk kaum perempuan menantikan eksistensinya diakui, didukung dan juga dilindungi hak dan kewajibannya. Jerman, Austria, Denmark dan Swiss merupakan negara-negara di Eropa yang pertama kali ikut merayakan Hari Perempuan Internasional tatkala Amerika Serikat juga ingin mengatasi penindasan dan juga kekerasan terhadap perempuan. Hari Perempuan Internasional dipilih menjadi hari libur umum di dua negara bagian jerman yaitu di Mecklenburg-Western Pomerania dan Berlin. Tidak di seluruh Jerman.
Penyempitan kesenjangan gender di dalam bidang-bidang kehidupan seperti akses kesehatan, pendidikan, partisipasi dalam dunia berpolitik hingga kesetaraan ekonomi berlanjut menjadi permasalahan pokok yang dialami kaum perempuan. Salah satunya di negara berkembang Indonesia, kaum perempuan kini dapat menikmati pendidikan tinggi dan pekerjaan seperti kaum laki-laki tetapi kesenjangan gender dalam posisi kepemimpinan, potensi penghasilan, dan peningkatan karier masih sangat mencolok.
Perempuan melihat diri mereka sebagai emansipasi yang sanggup menginspirasi individu di dalam dirinya sendiri, menjadi kuat dan giat dalam mencapai tingkatan-tingkatan kehidupan tertentu, seraya kemandirian mendukung untuk memperbaiki kualitas hidup. Emansipasi bukan untuk menggeser apalagi melangkahi kaum laki-laki atau menyampingkan ajaran-ajaran agama yang telah dipelajari dan dipahami tentang tatanan peran perempuan di lingkungan hidup sosial.
Semboyan Hari Perempuan Internasional 2022 adalah: Kesetaraan gender hari ini untuk hari esok yang berkelanjutan. Emansipasi tidak berarti kesetaraan, tetapi kebebasan memilih. Lebih banyak pilihan dalam masyarakat individual memungkinkan perempuan untuk lebih berprestasi. Menteri Federal Jerman untuk Perempuan dan Kehakiman, Christine Lambrecht telah mengeluarkan sebuah resolusi tentang kuota perempuan dalam dunia kerja atau perluasan lebih lanjut dari fasilitas pengasuhan anak telah diaplikasikan dalam undang-undang posisi manajemen Jerman. Hal ini agar kaum perempuan lebih banyak dalam posisi manajerial untuk bisnis dan layanan publik.
Dikutip dari laman Kementerian Keluarga, Orang Lanjut Usia, Perempuan dan Anak Muda Jerman (Bundesministerium für Familie, Senioren, Frauen und Jugend) “Undang-Undang Posisi Manajemen yang baru merupakan tonggak sejarah bagi wanita di Jerman. Dengan undang-undang tersebut, dipastikan bahwa lebih banyak wanita berkualifikasi tinggi dapat maju ke manajemen puncak. Kuota minimal 30 persen perempuan kini telah terlampaui. Lebih banyak wanita di ruang rapat, memperkaya ekonomi dan memiliki fungsi panutan yang penting, serta menyebar ke area lain di perusahaan. Bahkan sebelum peraturan baru diberlakukan, perusahaan terkenal memiliki perempuan di dewan mereka. Ini sudah menunjukkan betapa pentingnya komitmen kami terhadap hukum.“
Dari pernyataan di atas, kepercayaan publik terhadap kepemimpinan perempuan di Jerman sudah cukup tinggi. Penyuluhan dan dukungan yang terus menerus dipekikan oleh Kementerian Jerman tersebut berbuah pencapaian yang manis. Baik instansi pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan ternama di Jerman mengualisifasikan kapabilitas perempuan menduduki bagian-bagian krusial.
Lalu bagaimana dengan perkembangan kesenjangan gender dan upah di Indonesia dalam ruang publik? Apakah juga sudah berbuah manis atau justru semakin terasa masam? Faktanya di Indonesia usia masih saja menjadi faktor terpenting dalam bekerja. Dari sebuah penelitian dari The Conversation, kaum perempuan baru akan merasakan kesetaraan upah hasil kerja dengan kaum laki-laki ketika mereka mencapai umur 30 tahun dan ke atas. Hal ini berlaku jika memiliki lama pengalaman kerja yang sama dan memiliki tingkat pendidikan yang sama serta bekerja di bidang yang sejenis. Perbedaan upah hasil kerja bisa mencapai 27,60%. Dengan bertambahnya usia, kesenjangan upah di antara kedua kelompok ini semakin berkurang.
Akan tetapi seiring dengannya pertambahan umur, banyak kaum perempuan yang memutuskan untuk menikah dan memiliki buah hati. Oleh karena itu, banyak dari kaum perempuan memilih jam kerja yang fleksibel, bahkan memilih usaha-usaha mandiri rumahan. Tak sedikitpun yang berhenti bekerja sepenuhnya dan memilih menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Oleh sebab itu banyak perusahaan di Indonesia yang enggan merekrut kaum wanita dalam posisi-posisi teratas perusahaan, dengan alasan fleksibilitas, loyalitas, dan dedikasi yang bersangkutan.
Untuk meningkatkan kesetaraan gender di dunia kerja, dibutuhkan kepercayaan perusahaan-perusahaan dengan memberikan lebih banyak fleksibilitas waktu bagi pekerja perempuan. Ini tidak relevan apakah paruh waktu, penuh waktu atau Home Office mengingat bahwa pria dan wanita melihat pencapaian akan konsep kesetaraan gender secara berbeda. Penekanan gagasan kesetaraan hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan sebagai orang tua pun sangatlah penting. Baik seorang ayah maupun seorang ibu berhak mendapatkan cuti dalam mendidik dan mengasuh pola anaknya secara bersama-sama tanpa memberatkan kepada salah satu pihak.
Di Jerman, cuti orang tua dimulai pada hari kelahiran anak dan berlangsung maksimal tiga tahun. Cuti orang tua dapat dibagi secara bebas oleh orang tua, hingga tiga bagian. Selama cuti melahirkan, orang tua mendapatkan perlindungan khusus dari pemecatan. Perusahaan hanya dapat memecat mereka karena alasan operasional yang mendesak. Cuti melahirkan dibayarkan untuk dua belas sampai empat belas bulan pertama, bukan oleh pemberi kerja tetapi oleh negara dalam bentuk tunjangan orang tua. Tidak ada hak atas pembayaran satu kali seperti bonus liburan atau tunjangan hari raya selama periode ini.
Pemerintah Indonesia diharapkan dapat melirik ide-ide atau gagasan-gagasan dari negara-negara lain yang telah memiliki hasil di bidang kesetaraan gender. Hal ini bisa dilakukan dengan mempelajarimemelajari, dan menyesuaikannya dengan kondisi kemampuan negara masing-masing untuk keberlangsungan semua kaum, baik laki-laki maupun perempuan yang merata. Tentunya, dibutuhkan juga kerja sama dan kesadaran akan pentingnya kehadiran masing-masing pihak untuk memenuhi hak-hak dan tanggung jawabnya. Mari memperjuangkan bersama demi menciptakan lingkungan hidup yang dinamis dan harmonis.
Penulis: Nurfadni Mutiah, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.