Kepemimpinan Perempuan Kala Bencana, Mungkinkah?
Anna Knöbl
Apa yang Anda bayangkan jika mendengarkan kepemimpinan perempuan dalam bencana atau krisis seperti krisis pandemi yang baru saja kita lewati? Ada yang menarik tentang kepemimpinan perempuan di negeri tua dalam peradaban manusia berabad-abad lalu saat saya berlibur ke Mesir.Di sana saya mengunjungi berbagai tempat bersejarah dan mendapat pengetahuan tentang masa kejayaan negeri tertua di dunia tersebut. Pemandu wisata menjelaskan bagaimana tiap Firaun, Sang Penguasa Mesir terlibat dalam berbagai kepemimpinan memimpin negeri itu. Dalam benak saya Firaun sebagai penguasa adalah pria. Pertanyaan saya kepada pemandu wisata, apakah tidak ada Firaun seorang perempuan? Dia pun menjawab tentu ada Firaun yang juga seorang perempuan.
Tercatat ada 6-8 Firaun perempuan dari sekian banyak Firaun yang pernah berkuasa di Mesir. Di zaman kuno, Firaun yang notabene perempuan dipilih sangat jarang sekali dalam budaya patriarki yang masih kental. Kepemimpinan Firaun perempuan lebih ditekankan pada saat Mesir terjadi krisis kepemimpinan misalnya, ketika sang Firaun laki-laki wafat dan tidak ada penggantinya lagi maka terpilihlah istrinya.
Bagaimana sih kepemimpinan perempuan saat bencana atau krisis? Perempuan mampu memberdayakan komunitasnya secara partisipatif dan komunikatif ketimbang pemimpin lelaki yang lebih terkesan hirarki dan komando. Begitu dari literatur yang saya baca seputar kepemimpinan perempuan pada masa itu. Saya membayangkan bagaimana Cleopatra dengan cerdik memimpin negeri Mesir dan namanya tidak lekang oleh waktu.
Kepemimpinan perempuan pada masa kini tentu Anda sudah mengenal perempuan yang menjadi tokoh dunia lainnya. Kepemimpinan menurut saya, tidak harus selalu menjadi Leader tetapi perempuan diberi kesempatan dalam urusan publik seperti krisis Pandemi Covid-19. Saat krisis pandemi kemarin contohnya ada kehadiran perempuan dalam penemuan vaksin Astrazeneca, mereka adalah Sarah Gilbert seorang penemu dan seorang perempuan asal Indonesia yakni Carina Citra Dewi Joe.
Beralih ke pengalaman lainnya saat Pandemi Covid-19 lalu. Rekan saya, pekerja LSM di Indonesia, menceritakan tentang pendistribusian logistik dari pemerintah yang disampaikan kepada keluarga-keluarga binaannya. Sebut saja Mbah, perempuan berusia lima puluh tahunan ini terpaksa menjadi tulang punggung suaminya bekerja di sawah karena suaminya meninggal. Mbah tidak punya Handphone dan televisi karena pekerjaannya hanya sebagai buruh tani. Saat staf LSM mengantarkan bantuan sembako kepada Mbah, Mbah terkejut bercampur bahagia. Mbah pun terharu dan menitipkan pesan terima kasih kepada Covid yang telah memberikan bantuan kepadanya. Rupanya Mbah tidak pernah melihat perkembangan situasi tentang Pandemi Covid-19 lalu karena situasi sosial ekonominya dan kehidupannya sebatang kara. Mbah berpikir kalau Covid adalah nama seorang dermawan.
Anda bisa membayangkan bagaimana krisis atau bencana melanda perempuan seperti Carina Joe atau seperti Mbah yang kurang akses informasi. Belum lagi pasca bencana, perempuan dihadapkan pada situasi kehilangan suami atau anggota keluarganya yang menjadi tulang punggung keluarganya. Perempuan masih berurusan dengan kesiapan mental dan masalah ekonomi yang harus dipecahkan solusinya apalagi bila dia tidak bekerja dan tidak punya lagi tempat tinggal akibat bencana. Rentetan persoalan perempuan saat bencana bukan lagi soal perempuan yang rentan secara fisik tetapi perempuan yang bisa jadi tidak diberi kesempatan dalam situasi krisis atau bencana.
Peran perempuan sebagai Caregiver keluarga apalagi saat bencana sangat terasa sekali saat krisis kemanusiaan Pandemi Covid-19 yang baru-baru ini kita alami. Perempuan diminta untuk mengurusi anak-anak dan keluarganya di rumah. Belum lagi beban ganda para perempuan bekerja yang dituntut berbagi tugas dan tanggung jawab antara urusan pekerjaan dan rumah tangga dalam 24 jam. Seorang rekan perempuan asal Indonesia yang tinggal di Jerman mengeluhkan beban ganda yang harus dipikulnya manakala Pandemi Covid-19 melanda dunia. Dia memilih bekerja porsi Teilzeit atau pekerjaan paruh waktu di rumah sementara dia juga harus menjadi guru bagi anak-anaknya yang juga semua dilakukannya di rumah. Hingga akhirnya dia datang kepada saya mengeluhkan semua yang dialaminya tersebut. Masalah psikologis adalah masalah yang tidak pernah terpikirkan ketika bencana datang.
Itu baru masalah psikologis selama bencana yang dihadapi perempuan sebagai Caregiver, mengurusi dan merawat anggota keluarga lainnya bahkan keluarga besarnya. Selama bencana, perempuan berada di garda terdepan untuk menyelamatkan keluarganya. Anggapan ini berkembang kuat di masyarakat. Padahal tugas menyelamatkan keluarga saat bencana tidak hanya perempuan saja, (tetapi) seharusnya juga laki-laki. Pandangan perempuan sebagai kelompok rentan secara fisik saat terjadi bencana atau krisis tentu bisa dipatahkan dengan melibatkan perempuan dalam berbagai kesempatan seperti ibu-ibu di tenda bantuan untuk berkoordinasi dengan petugas lapangan tentang ketersediaan logistik, mencatat kebutuhan pengungsi hingga tenaga kesehatan otodidak hanya karena perempuan dianggap sebagai Caregiver keluarga.
Saya pernah terlibat dalam penanganan trauma psikologis pada saat bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 silam. Kami tidur di posko bantuan yang lokasinya aman bersama pengungsi lainnya. Kami punya tim sukarelawan yang berasal dari warga sendiri untuk membantu mendata kebutuhan logistik warga seperti misalnya, apa saja yang diperlukan tiap-tiap rumah tangga saat itu. Hal menarik laporan pendataan yang ditulis perempuan lebih terstruktur ketimbang laki-laki dalam mengumpulkan data. Kami juga punya program penyuluhan tentang kesiapsiagaan kalau bencana datang lagi. Agar informasi ini tersampaikan dengan baik, kami meminta relawan untuk menjadi penyuluh yang datang ke keluarga-keluarga yang terdampak. Hal menarik kedua adalah penyuluh perempuan itu lebih komunikatif dan aktraktif dalam menyampaikan informasi ketimbang laki-laki. Dari pengamatan saya, penyuluh perempuan itu lebih disukai daripada penyuluh laki-laki.
Saya tertarik untuk menuliskan kepemimpinan perempuan saat bencana ketika saya pernah terjun langsung mendampingi korban bencana seperti bencana gempa bumi tahun 2006 dan banjir besar di Jakarta tahun 2007. Pada saat banjir besar di Jakarta tersebut, saya masih bekerja di Jakarta dan bertugas sebagai sukarelawan pendamping di area yang terdampak. Budaya patriarki masih kental ketika warga yang menjadi korban lebih memilih laki-laki sebagai tenaga relawan. Alasannya perempuan dianggap lemah secara fisik. Anggapan lainnya adalah perempuan sudah seyogyanya merawat dan mengurusi anggota keluarganya yang terdampak bencana. Para perempuan hanya dilibatkan untuk dapur umum kadang-kadang atau tenaga otodidak kesehatan di tenda pengungsian.
Ketika saya membicarakan soal pembagian peran perempuan dan laki-laki saat bencana itu, hal ini masih berbenturan dengan kebijakan yang mengatur proporsi perempuan dan laki-laki dalam penanggulangan bencana. Mereka tidak ingin melibatkan banyak perempuan karena anggapan di masyarakat. Perempuan dianggap rentan secara fisik dan dipandang sebelah mata dalam program pasca atau Recovery bencana. Anggapan yang salah dari keyakinan banyak warga yang meremehkan peran serta perempuan dalam penanggulangan bencana seperti “Perempuan bisa apa?” yang kadang menyudutkan perempuan yang ingin berdaya dan mencoba.
Kembali lagi soal pendekatan kepemimpinan yang dilakukan perempuan seperti partisipatif dan komunikatif, perempuan bisa mengambil bagian terlibat dalam program penanggulangan bencana atau pasca krisis seperti krisis Pandemi Covid-19 yang baru-baru ini terjadi. Dengan gaya kepemimpinan perempuan tersebut, perempuan bisa terlibat dalam manajemen risiko bencana. Mengapa? Perempuan dianggap memiliki ikatan sosial yang kuat dalam masyarakatnya ketimbang laki-laki. Para ibu ingat betul siapa saja tetangga-tetangga mereka yang perlu ditolong, ketimbang para bapak. Ini hasil pengamatan saya saat membantu dalam dua bencana yang disebutkan di atas. Gaya perempuan yang komunikatif ternyata membuat pesan tanggap darurat bencana lebih diterima ketimbang gaya komunikasi laki-laki yang terkesan komando. Kepemimpinan tidak harus selalu menjadi Leader, tetapi perempuan diberi kesempatan dalam urusan publik. Itu saja, menurut saya.
Di Hari Perempuan Sedunia 2023 ini saya berpesan agar kepemimpinan perempuan bisa dimulai dengan banyak melibatkan perempuan dalam ruang publik, tidak menunggu sampai bencana datang. Dalam situasi tanggap darurat seperti krisis atau bencana, perempuan perlu dilibatkan. Kita bisa memulai dari sekarang, sebelum bencana atau krisis datang, dengan mengajak peran serta perempuan untuk penyusunan kebijakan payung hukum tanggap bencana, manajemen risiko bencana hingga program Life Skills pemberdayaan komunitas pasca bencana. Kepemimpinan menurut saya tidak serta merta dalam urusan posisi mana yang lebih tinggi dan lebih rendah, tetapi bagaimana duduk bersama-sama dan menganggap bahwa perempuan perlu diberi kesempatan, dalam hal apapun, termasuk situasi krisis, bencana atau tanggap darurat. Selamat Hari Perempuan Sedunia 2023!
Penulis: Anna Knöbl, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.