Westy: Inspirasi dari Perempuan Trengginas di Tengah Pemain Industri Metalurgi Dunia
Etty Prihantini Theresia
Bertubuh mungil dan lincah, Westy Aden Bialke sekilas tampak seperti salah satu fashionista yang kerap kita temui di pusat kota Frankfurt, salah satu kota pusat financial di Eropa Barat. Penampilannya yang modis dan memesona menyimpan energi yang luar biasa. Siapa nyana, nama anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara ini merupakan salah satu nama yang seringkali muncul dalam tender proyek-proyek pabrik metalurgi dunia.
Ketertarikan Westy, begitu dia biasa dipanggil, pada bidang teknik berawal dari keluarga. Dia mendengarkan percakapan sang Ayah yang merupakan seorang insinyur sipil dan juga diskusi-diskusi dengan sang kakak yang telah lebih dulu memilih untuk berkuliah di bidang yang sama. Hal ini membuat Westy merasa bahwa bidang ini adalah bidang yang keren dan sangat menarik. Selain itu didukung oleh kesukaan dan prestasi Westy di bidang matematika dan fisika semasa duduk di bangku sekolah.
Prestasi Westy dan kecocokannya di bidang yang sudah dipilihnya terbukti dengan pekerjaan pertama yang didapatkannya. Lulus dari Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada tahun 1992, Westy langsung direkrut oleh ARCO (Atlantic Richfield Indonesia Inc.). Ini adalah sebuah perusahaan dengan kantor pusat di Amerika Serikat.
Dia bekerja di sebuah proyek di Pulau Pagerungan. Karena performanya yang mengesankan atasan, sang atasan pun meneruskan dokumen-dokumen Westy kepada seorang Head Hunter. Melalui inilah Westy kemudian direkrut untuk bekerja di Lurgi yakni sebuah perusahaan metalurgi yang berpusat di Jerman pada tahun 1995.
Ini menjadi prestasi tersendiri bagi Westy karena dia adalah insinyur pertama yang direkrut di Indonesia. Tentu berbeda dengan insinyur-insinyur sebelumnya yang direkrut dari luar Indonesia untuk bekerja di lokasi proyek di Indonesia.
Perusahaan ini membangun berbagai pabrik pengolahan bahan alam untuk klien-klien di berbagai negara, sebuah perusahaan di bidang pembangunan dan konsultan teknik, yang seringkali identik dengan dunia laki-laki. Pada saat krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998-1999, Westy pun diminta untuk bergabung dengan cabang perusahaan Lurgi di Malaysia.
Pada tahun 2001 dia pun ditawari untuk pindah ke kantor pusat di Frankfurt, Jerman. Kesempatan ini pun tidak disia-siakannya. Hingga saat ini Westy pun masih tinggal dan bekerja di kota Frankfurt.
Melalui berbagai proyek di Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Chili, Trinidad dan banyak negara lain, Westy meniti karir selama 30 tahun terakhir hingga pada perusahaan dan posisinya saat ini. Sebagai Direktur Bidang Pemasaran dan Proposal di perusahaan Metso: Outotec yang berkantor pusat di Finlandia, wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawab Westy meliputi seluruh dunia.
Dia juga bertanggung jawab atas manajemen proposal di pusat-pusat kompetensi perusahaan di Jerman, India dan Amerika Serikat. Sebagai satu-satunya perempuan di Departemen Pemasaran dan Proposal, Westy memimpin tim yang bekerja dari berbagai lokasi di seluruh dunia.
Salah satu puncak karirnya sampai saat ini adalah jabatan sebagai Vice President Proposal Management pada tahun 2016-2018, sebelum perusahaan mengalami perubahan struktur manajemen.
Ketika ditanya tentang tantangan apa yang dihadapinya sebagai perempuan yang berkarir di dunia yang sering dilihat sebagai dunia khas laki-laki, Westy memiliki beberapa jawaban yang menarik. Dia mengakui bahwa dalam bidang tertentu perempuan sering disepelekan.
Namun yang menarik adalah pengalamannya bahwa tantangan ini justru lebih besar ketika dia masih merintis karir di Indonesia. Selain tantangan untuk membuktikan diri bahwa dirinya adalah insinyur yang berkualitas.
Dia juga berhadapan dengan stereotype yang dimiliki baik oleh orang Indonesia sendiri maupun oleh tenaga kerja asing yang menganggap bahwa kualitas SDM dari luar negeri lebih baik daripada SDM lokal. Hal ini membuat Westy semakin bersemangat untuk membuktikan bahwa perempuan Indonesia pun tidak kalah kualitasnya dengan insinyur-insinyur lain.
Di samping itu, ada tantangan-tantangan yang tidak hanya berkaitan dengan gender. Ada juga berkaitan dengan asal, seperti pada saat dia mengambil alih sebuah proyek di Malaysia pada tahun 1999.
“Mereka sempat khawatir, apakah orang Malaysia akan bisa menerima pemimpin dari Indonesia, perempuan pula,” katanya.
“Tapi ternyata tidak ada masalah dan proyeknya sangat sukses,” tambahnya sambil tertawa.
Secara umum Westy menjelaskan bahwa cukup sulit bagi perempuan untuk diakui setara, apalagi di bidang yang secara tradisional dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan setidak-tidaknya harus 50% lebih baik atau bahkan dua kali lebih baik daripada pekerja laki-laki.
Untuk merebut kesempatan dalam bidang yang secara tradisional adalah male domain pun cukup menantang. Seringkali yang dilihat pertama kali sebagai pekerja berpotensi adalah laki-laki, kemudian perempuan sebagai pilihan berikutnya. Oleh karena itu, penting bagi pekerja perempuan untuk memiliki profil istimewa agar tetap menonjol di antara kandidat-kandidat lainnya.
Sambil menceritakan perjalanan karirnya yang luar biasa, Westy mengatakan bahwa pada awalnya dia, seperti banyak perempuan lain. Dia harus bekerja keras untuk membuktikan diri. Dalam perjalanan karirnya, Westy merasa pada awal tidak banyak konflik karena dia berkonsentrasi kepada performa.
Dia hanya satu dari banyak staf bawahan yang fokusnya bekerja keras. Hal ini bergeser ketika karirnya sudah mulai menanjak dan posisinya sudah masuk ke jajaran manajemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik perusahaan mulai memengaruhi proses dan cara kerja orang-orang yang bekerja pada tingkat manajemen.
Di antara jajaran manajemen yang mayoritas laki-laki kadang terbentuk kelompok-kelompok yang saling berkomunikasi tanpa melibatkan Westy. Itu sebab dia harus lebih proaktif untuk mengejar informasi.
“Perempuan adalah pemimpin yang lebih baik,“ kata Westy sambil tersenyum simpul, “aku meyakini itu.”
Salah satu hal yang telah dialami dan dipraktikkan oleh Westy sendiri adalah bahwa perempuan memiliki insting dan kepekaan untuk menangkap apa yang diperlukan oleh anggota tim untuk menjadi ‘A winning team‘.
Dia mengatakan bahwa melalui kepekaan khas perempuan ini, dia mampu menangkap apa yang dibutuhkan oleh anggota timnya untuk bisa mengembangkan potensi mereka secara maksimal meskipun pada saat bersamaan dia juga menuntut performa yang luar biasa dari seluruh anggota timnya. Sebagai timbal balik dari perhatian dan dukungan dari sang Atasan, anggota timnya sangat loyal dan bersedia memberikan usaha terbaik bagi kesuksesan tim.
Ketika saya minta untuk mendeskripsikan gaya kepemimpinannya, Westy menjawab dengan spontan, “Aku menempatkan diri sebagai Role model. Tugasku mendemonstrasikan dan memberi contoh.”
Westy mengatakan bahwa dia tidak segan untuk melakukan semua pekerjaan, apapun itu. Kalau ada anggota tim yang datang dan mengatakan bahwa dia perlu bantuan, bantuan apa pun akan dikerjakan. Dia adalah bagian dari tim dan bukan bos. Komunikasi yang jelas dan tegas menjadikan semua anggota tim mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan tetap siap meminta bantuan jika diperlukan.
Yang menarik bagi saya adalah ketika Westy bercerita bahwa tantangan tidak hanya muncul di bidang kerja, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Sebagai perempuan Asia yang menikah dengan laki-laki Jerman dan tinggal di Eropa, Westy bercerita bahwa dia terkadang dipandang sepele oleh orang-orang yang belum mengenalnya.
Meskipun Westy sendiri sering tidak ambil pusing, tetapi dia bercerita bahwa sang suamilah yang pada awalnya seringkali memperkenalkan dirinya. Suaminya langsung bercerita dengan bangga, “Istriku ini insinyur!“
Hal ini untuk membongkar stereotype perempuan asing yang dianggap menumpang hidup dengan pasangannya yang berkulit putih. “Sesudah 18 tahun menikah sih sudah tidak perlu lagi ya. ‘Kan kenalan kami semua sudah tahu hehehe,” kata Westy.
Di samping suami yang bangga akan identitas dan pencapaiannya, Westy juga sangat bersyukur karena pasangan hidupnya ini sangat mengerti tuntutan pekerjaannya. Datang dari latar belakang pekerjaan yang sama, sang suami mengerti beban dan bidang kerjanya.
“Kalau sama-sama pulang kerja, dia tahu betul hari ini seberat apa.”
Westy pun tidak khawatir meninggalkan rumah dalam rangka perjalanan dinasnya ke seluruh dunia karena mereka saling bekerja sama di dalam dan di luar rumah tangga.
“Suamiku lebih sering memasak loh, daripada aku.”
Harus diakui, mencapai karir yang luar biasa dan memimpin tim internasional dengan klien yang bekerja dalam zona waktu yang berbeda-beda membuat Westy sulit menjaga Work-life balance.
“Meskipun idealnya pulang kerja lepas dari telepon genggam, tetapi pada kenyataannya sulit ya. ‘Kan klien dan anggota timku jam kerjanya beda-beda,” dia mengakui.
“Tapi akhir pekan tetap milik suami ya, dikombinasikan dengan ketemu sesama orang Indonesia di Gereja,” tambahnya.
Ada banyak hal yang disyukuri oleh Westy: karir yang moncer dan pasangan yang baik, serta kesempatan untuk membahagiakan dan mengunjungi kedua orang tua di Indonesia dua kali setiap tahunnya.
Sebelum berpisah saya bertanya kepada Westy tentang tips atau hal-hal apa yang ingin dia bagi untuk sesama perempuan Indonesia. Perempuan berpaspor Indonesia ini pun membagikan pengalamannya.
“Jangan ragu-ragu untuk mengeksplorasi diri!”
Bakat apapun, dalam bidang apapun, harus digunakan sebaik-baiknya. Tidak penting apakah bakat dan minat itu ada bidang akademis, sosial, budaya, dan lain-lain, eksplorasilah karena ini adalah bagian penting kehidupan.
“Jangan bergantung pada laki-laki!”
Westy berpesan bahwa seorang perempuan harus punya jati diri dan harus mampu berdiri di kaki sendiri. Dia menekankan pentingnya pendidikan karena pendidikan adalah salah satu pilar penting jati diri dan kemandirian. Apabila di kemudian hari, perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga secara penuh maka itu pun tidak masalah. Namun dia sudah punya jati diri dan modal pribadi untuk duduk setara dengan partner hidupnya.
“Yang terakhir, jangan takut untuk mengambil tantangan!”
Banyak perempuan cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Namun kadang kehati-hatian ini menjadi batu sandungan jika bersaing dengan laki-laki yang cenderung lebih cepat menjawab “Bisa!“ ketika menghadapi tantangan. Westy mengatakan bahwa perempuan perlu lebih berani untuk mengambil risiko dan percaya pada diri sendiri, “Saya bisa!“.
Tak terasa sudah lebih dari satu setengah jam saya menimba inspirasi dari pemimpin perempuan di depan saya. Saatnya kami mengejar kereta untuk kembali ke rumah masing-masing. Sambil merapatkan jaket, saya berterima kasih dan mengamatinya menghilang di antara para penumpang kereta bawah tanah di pusat kota Frankfurt.
Penulis: Etty Prihantini Theresia, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman